Jumat, 28 Juni 2013

TOKOH-TOKOH HERMENEUTIKA



2.3 Tokoh-tokoh Hermeneutika
Studi  mengenai hermeneutika dalam ranah ilmu pengetahuan tidak bisa lepas dari peran para pemikir hermeneutika yang mensosialisasikan metode ini sebagai pendekatan analisis yang mempunyai tingkat pertanggungjawaban yang tinggi. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dibahas para ahli yang mempopulerkan hermeneutika. Tokoh-tokoh yang akan dibahas pada bagian ini adalah F.D.E Schleirmacher, Wilhelm Ditlhey,Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur.
a.      F.D.E Schleirmacher
Schleirmacher adalah seorang teolog,ahli filologi dan budaya yang merupakan guru besar teologi dan filsafat Universitas Halle di Jerman. Ia dianggap sebagai bapak hermeneutika modern  sebab membakukan hermeneutika menjadi metode umum interpretasi yang tidak terbatas pada kitab suci dan sastra. Pemikiran dalam karya-karyanya merupakan perluasan dari kuliah-kuliah kepada mahasiswa sejak tahun 1805. Sumber pemikiran Schleirmacher berasal dari epistimologi Kant, idealisme Schelling, Fichte dan Hegel serta empirisme Inggris. Dari epistimologi Kant dia mengambil uraian tentang peran akal atau nalar murni dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Idealisme Schelling yang diambil adalah pendangan tentang identitas pribadi yang mempengaruhi corak sebuah karya khususnya karya sastra, sehingga ia dipandang sebagai filosof romantik. Akan tetapi, pemikiran Kant yang menempati porsi utama dalam hermeneutika (Hadi, 2008:44-45).
Schleirmacher memandang hermeneutika adalah sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks-teks mengenai konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma. Tugas hermeneutika adalah memahami teks-teks “sebaik atau lebih baik dari pengarangnya” dan “memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami dirinya sendiri”. oleh karena itu, Schleirmacher membagi pemahaman terhadap hermeneutika kedalam tiga tahap, yaitu:
·         Tahap interpretasi dan pemahaman mekanis yaitu pemahaman dan interpretasi kita dalam kehidupan sehari-hari di jalan-jalan bahkan di pasar atau dimana saja orang berkumpul bersama untuk berbincang tentang topik umum.
·         Tahap ilmiah yang dilakukan di universitas-universitas dan diharapkan adanya pemahaman serta interpretasi yang lebih tinggi. Tahap ini pada dasarnya adalah pemahaman dan observasi.
·         Tahap ketiga adalah tahap seni yaitu aturan yang mengikat atau membatasi imajinasi (Subiyantoro,2006:89).
Pada tahap pertama dan kedua menurut Schleirmacher tidak membawa pada pemahaman yang semestinya. Karena pada kenyataannya teks yang dihadapi tidak cocok untuk taraf-taraf interpretasi dan bahkan sering bertentangan. Schleirmacher lebih cocok pada tahap ketiga karena penekanannya pada seni. Karena bagi Schleirmacher “sebagai suatu seni maka tidak ada hermeneutika yang sudah dikhususkan penggunaannya”. Pemahaman yang selalu dipasangkan dengan interpretasi tidak lain adalah seni, dalam arti bahwa seseorang tidak dapat meramalkan waktu dan cara seseorang mengerti.
Pemahaman Schleirmacher dalam arti seni ditunjang oleh pemahamannya terhadap bahasa. Bahasa hadir sebagai bagian penting dari keseluruhan sistem hermeneutikanya. Menurutnya semakin lengkap pemahaman seseorang atas sesuatu bahasa dan psikologi pengarang, akan semakin lengkap pula interpretasinya. Kompetensi linguistik dan kemampuan mengetahui seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam hal seni interpretasi. Schleirmacher disini memandang bahasa sebagai sesuatu yang identik dengan pikiran. Dari ekspresi bahasa, ciri-ciri pemikiran masyarakat dapat ditentukan (Hadi,2008:46).
Schleirmacher menciptakan dua bentuk hermeneutika yaitu pemahaman ketatabahasaan dan pemahaman psikologis yang ditunjukan oleh jiwa pengarang. sehingga hermeneutikanya sering disebut sebagai hermeneutica intelligendi karena penalaran rasional dan intuisi merupakan dua bentuk kecerdasan tertinggi yang dimiliki manusia. Meskipun individualitas pengarang merupakan tumpuan utama dalam hermeneutikanya, tetapi konteks kesejarahan dan budaya pengarang menjadi pertimbangan yang penting.
Sebuah tafsir membutuhkan intuisi tentang teks yang sedang dipelajari. Sebuah teks yang sedang dipalajari tidak asing bagi kita, juga tidak sepenuhnya biasa bagi kita. Keasingan dalam suatu teks dapat diatasi dengan mencoba memahami si pengarangnya dengan cara membuat konstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin pengarangnya serta berimpati kepadanya. Dengan kata lain, kita harus membaut penafsiran psikologis atas teks sehingga dapat memproduksi pengalaman pengarang. Pandangan Schleirmacher kemudian menuai kritikan karena terlalu psikologis dan mengalami kesulitan karena berusaha untuk mengatasi kesenjangan waktu yang memisahkan antara cakrawala budaya dengan cakrawala budaya pengarang (Hamidi, 2007:62).
Prosedur pemahaman dalam hermeneutika yang diajukan oleh Schleirmacher agak sederhana. Pemahaman dan penafsiran harus diawali dengan perumusan prinsip-prinsip pemahaman terlebih dahulu. Kemudian membangun hermeneutika yang umum (Hadi,2008:48). Seorang pembaca yang ingin memhami sebuah teks harus keluar dari pendiriannya atau teori yang diyakininya agar terbuka terhadap pendirian pengarang yang mungkin berbeda dengan pendiriannya dalam berbagai persoalan.
b.      Wilhelm Ditlhey
Dithey merupakan salah satu penganggum dari filsafat Schleirmacher yang menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya-karya kefilsafatan. Ini merupakan titik awal Dithey menjadi seorang filsuf. Dithey menaruh perhatian pada filsafat kehidupan. Karena filsafat bagi Dithey bersifat esensial historis. Peristiwa-peristiwa sejarah telah menunjukan jiwa manusia yang berubah dalam alur waktu dengan cara yang tidak kelihatan. Karena manusia adalah makhluk yang hidup dan berevolusi (Subiyantoro,2006:91). 
Ditley menaruh perhatian pada metode hermeneutika ketika mencoba untuk memecahkan persoalan tentang bagaimana segala pengatahuan tentang individu atau pengetahuan tentang singularitas eksistensi manusia menjadi ilmiah. Oleh itulah perlu pemahaman diri yang mutlak. Pengalaman tentang geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang hidup tergantung pada pengalaman-pengalaman batin yang tidak terjangkau oleh metode ilmiah (Hamidi, 2007:62). Atas dasar itulah Dithey menyarankan untuk menggunakan hermeneutika.
 Menurut dia hermeneutika adalah dasar pemahaman yang khusus mengenai geisteswissenschaften. Berkenaan dengan keterlibatan individu dalam kehidupan bermasyarakat yang hendak dipahami, ia merasa perlu memiliki tipe pemahaman yang khusus (penafsiran reproduktif). Meskipun orang dapat menyadari keadaan dirinya melalui ekspresi orang lain, namun orang masih dirasa perlu untuk membuat interpretasi atas ekspresi tersebut. Hermeneutika dapat bekerja jika ekspresi sudah dikenal atau tidak asing. Oleh karena itu hermeneutika bagi Dithey bersifat kesejarahan (Hamidi, 2007:62). Peristiwa-peristiwa yang terjadi harus dipahami sebagai suatu ekspresi kehidupan sejarah, sehingga yang diproduksi bukankah pengarangnya tetapi makna peristiwa sejarahnya Ini berarti bahwa makna itu tidak berhenti pada satu masa saja tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarahnya.
c.       Hans-Georg Gadamer
Gadamer merupakan murid dari Martin Heidegger yaitu filsuf besar hermeneutika modern pada abad ke-20. Gadamer meneruskan pemikiran Heidegger yang terkenal dengan lingkaran hermeneutis. Dalam gagasan Heidegger, hermeneutika merupakan bagian dari eksistensi manusia sendiri, built in dalam diri manusia (Hamidi,2007:63). Dalam memahami dunia dan sejarahnya, manusia merupakan cakrawala bagi pemahaman dirinya. Suatu objek menampakkan dirinya hanya dalam suatu keseluruhan makna, dan setiap pengertian tentang objek baru terjadi karena adanya pemahaman yang mendahuluinya sebagai the conditions of possibility (syarat-syarat kemungkinan)[1].
Gagasan tentang lingkaran hermeneutis dikembangkan oleh Gadamer hingga menjadi sebuah teori filosofis mengenai pemahaman sehingga menjadi hermeneutika filosofis. Gadamer melontarkan kritiknya terhadap hermeneutika romantik yang dirintis oleh Schleiermacher dan Dilthey. Baginya, kesenjangan waktu antara kita dan pengarangnya tidak harus diatasi seolah-olah sebagai suatu yang negatif, tetapi justru harus dipikirkan sebagai perjumpaan cakrawal-cakrawala pemahaman. Cakrawala pemahaman dapat diperkaya dengan membandingkannya dengan cakrawala-cakrawala pengarang. oleh karena itu, penafsiran tidak bersifat reproduktif belaka tetapi juga produktif. Artinya bahwa makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya melainkan makna baru bagi kita yang hidup di zaman ini, maka menafsirkan adalah proses kreatif-inovatif.
Gadamer memandang bahwa hermeneutika adalah seni bukan proses mekanis. Jika pemahaman adalah jiwa dari hermeneutika, maka pemahaman tidak dapat dijadikan pelengkap proses mekanis. Pemahaman dan hermeneutika hanya dapat diberlakukan sebagai suatu karya seni. Pemikirannya mengenai hermeneutika, salah satunya adalah konsep mengenai manusia yaitu, bildung atau kebudayaan, Sensus Communis atau pertimbangan praktis yangbaik, Sense Communis dan selera. Konsep-konsep tersebut menuju pada pengetahuan tentang hidup (Subiyantoro,2006:93-94).
d.      Paul Ricoeur
Paul Ricoeur lebih merupakan tokoh hermeneutika modern disamping Gadamer. Karya-karyanya terutama membicarakan mengenai masalah psikoanalisis, hubungan linguistik dengan hermeneutika dan permasalahan strukturalisme. Pemikiran Ricoeur mengenai hermeneutika terdapat dalam karyanya yang berjudul The Rule of Metaphor, Le Conflit des interpretation, Essais d’hermeneutique. Ricoeur mengarahkan hermeneutika ke dalam kegiatan penafsiran dan pemahaman terhadap teks (textual exegesis). Menurut beliau,pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi terhadap interpretasi. Bahkan hidup itu sendiri adalah interpretasi. Sehingga jika terdapat pluralitas makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan" (Sumaryono, 1999:105). Setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna kasusastraan (Subiyantoro,2006:96).
Ricoeur mendefinisikan hermeneutika sebagai kajian untuk menyingkapkan makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak ruang dan waktu dari pembaca. Namun, sebagaimana Hans-Georg Gadamer yang mewakili tradisi hermeneutika filosofis, Paul Ricoeur juga menganggap bahwa "seiring perjalanan waktu niat awal dari penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam memahami teks" (Ricoeur,2003:203). Melalui bukunya, De l'interpretation (1965), Paul Ricoeur mengatakan bahwa hermeneutika merupakan teori mengenai aturan-aturan penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu, atau tanda, atau simbol, yang dianggap sebagai teks. Tugas utama hermeneutika ialah mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks, dan juga mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan teks itu muncul ke permukaan (Sumaryono, 1999:105).
Interpretasi menurut Ricoeur dapat dilakukan dengan cara perjuangan melawan distansi kultural, yaitu penafsir harus mengambil jarak agar ia dapat melakukan interpretasi dengan baik. Namun, yang dimaksudkan Paul Ricoeur dengan distansi kultural itu tidaklah steril dari anggapan-anggapan. Di samping itu, yang dimaksudkan dengan mengambil jarak terhadap peristiwa sejarah dan budaya tidak berarti seseorang bekerja dengan tangan kosong. Posisi pembaca bekerja tidak dengan "tangan kosong" ini, seperti halnya posisi karya sastra itu sendiri yang tidak dicipta dalam keadaan kekosongan budaya. Akan tetapi, seorang pembaca atau penafsir itu masih membawa sesuatu yang oleh Heideger disebut vorhabe (apa yang ia miliki), vorsicht (apa yang ia lihat), dan vorgrif (apa yang akan menjadi konsepnya kemudian). Hal itu artinya, seseorangdalam interpretasi tidaklah dapat menghindarkan diri dari prasangka (Sumaryono, 1999:106-107).
Hermeneutika Ricoeur dibangun berdasarkan tiga teras penting yaitu, filsafat eksistensialisme Gabriel Marcel, Karl Jaspers dan Heidegger. Disini hermeneutika dikaitkan dengan dorongan kodrati manusia untuk bereksistensi melalui bahasa yang terjelma menjadi filsafat, ilmu pengetahuan, agama, seni, kebudayaan, sastra dll. Kemudian dasar-dasar filsafat tentang eksistensi tersebut dipadukan dengan fenomenologi Husserl. Paduan dua arus besar pemikiran modern diperkuat dengan pemikiran Ricoeur sendiri mengenai arkeologi dan eskatologi. Oleh karena itu, hermeneutika Ricoeur dibangun atas pemikiran bagaimana aku yang berfikir (cogito) harus mengada untuk mengatasi pemikiran yang idealistik,subjektif dan solipsistik (Hadi,2008:52).
Hermeneutika bagi Ricoeur merupakan strategi terbaik dalam menafsirkan teks-teks filsafat dan sastra. Penafsiran terhadap sastra harus dilakukan dengan membedakan antara bahasa puitik yang hakikatnya bersifat simbolis dan metaforikal dengan bahasa diskursif nonsastra yang tidak simbolik. Menurutnya, ada tiga ciri utama bahasa sastra yang perlu diperhatikan dalam hermeneutika, antara lain:
·      Bahasa sastra dan uraian filsafat bersifat simbolik, puitik dan konseptual. Didalamnya, kita tidak dapat memberikan makna referensial terhadap karya sastra dan filsafat sebagaimana teks yang menggunakan bahasa penuturan biasa. Bahasa sastra menyampaikan makna simbolik melalui citra-citra dan metafora yang dapat dicekap oleh indera. Sedangkan bahasa bukan sastra berusaha menjauhkan bahasa atau kata-kata dari dunia makna yang luas.
·      Dalam bahasa sastra, pasangan rasa dan kesadaran menghasilkan objek estetik yang terikat pada dirinya. Penandaan harus dilakukan dan tanda harus diselami maknanya, karena tidak dapat dibaca sekilas. Tanda dalam bahasa sastra simbolik sastra mesti dipahami sebagai sesuatu yang mempunyai peran konotatif, metaforikal dan sugestif.
·      Bahasa sastra dalam kodratnya memberikan pengalaman fiksional yaitu suatu pengalaman yang pada hakikatnya lebih kuat dalam menggambarkan ekspresi tentang kehidupan. Oleh karena itu, bahasa sastra yang puitik tidak memberikan kemungkinan bagi pembaca untuk mengalami dan memahami secara langsung apa yang disajikan. Sehingga hermeneutika sangat diperlukan (Hadi,2008:55-56).
Dalam pemikirannya Ricoeur menambahkan bahwa setiap teks memiliki komponen, struktur bahasa, dan semantik yang berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap teks sastra memerlukan model hermeneutika yang berbeda-beda. Ricoeur merinci prosedur umumnya, yaitu pertama, teks harus dibaca dengan penuh kesungguhan dengan menggunakan iamjiansi yang penuh rasa simpati. Kedua, orang yang menggunakan strategi hermeneutika mesti terlibat dalam analisis struktural bahasa teks, kemudian menentukan tanda-tanda simbolik yang penting didalamnya dengan tujuan menyingkap makna batin tersembunyi. Setelah itu baru menentukan rujukan dan konteks dari simbol-simbol yang menonjol. Dia juga harus dapat membedakan metafora dan simbol, karena keduanya merupakan peralatan penting sastra yang membuatnya berbeda dari wacana ilmiah. Ketiga, seorang ahli hermeneutika mesti melihat bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan makna dan gagasan dalam teks merupakan pengalaman tentang kenyataan non-bahasa yang dinyatakan dalam bahasa (Hadi,2008:58).
Dengan demikian pemikiran Ricoeur dianggaps ebagai mediator antara hermeneutika romantik ke hermeneutika filosofis dan juga memperpadukan dua tradisi filsafat yang berbeda yaitu fenomenalogi Jerman dan strukturalisme Prancis.

 Rujukan:
Hadi,Abdul.2008.Hermeneutika Sastra Barat dan Timur. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Hamidi, Jazim.2007.Hermeneutika Hukum (Sejarah Filsafat dan Metode Hukum). Malang: UB Press
Ricoeur, Paul. 2003. dalam Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Terj. Ahmad Norma Permata.Yogyakarta:Fajar Pustaka
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius


[1] Istilah ini merupakan istilah yang berasal dari Imanuel Kant yang mengacu pada suatu yang harus dipenuhi lebih dulu agar suatu bentuk pengetahuan sahih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar