Ruang Lingkup
Hermeunitika
Hermeunitika dalam sejarah
pertumbuhannya mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan persepsi dan
model pemakaiannya, sehingga muncul keragaman pendefinisian dan pemahaman
terhadap hermeunitika itu sendiri. Gambaran perkembangan pengertian dan
pendefinisian tersebut oleh Richard E.Palmer dalam Hamidi (2007: 82-85) dibagi
dalam enam kategori hermeunitika sebagai berikut :
a) Hermeunitika
sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
Terminologi
hermeunitika dalam pengertian ini pertama kali dimunculkan sekitar abad 17-an
oleh J.C Dannhauer. Meskipun sebenarnya kegiatan penafsiran dan pembicaraan
tentang teori-teori penafsiran, baik itu terhadap kitab suci, sastra maupun
dalam bidang hukum, sudah berlangsung sejak lama. Misalnya dalam agama Yahudi,
tafsir terhadap teks-teks Taurat telah dilakukan oleh para Ahli Kitab. Dalam
tradisi Kristen, juga pernah terjadi dua macam penafsiran terhadap kitab
sucinya, yaitu penafsiran harfiah yang dianut oleh mazhab Anthiokia dan
penafsiran simbolik yang banyak digunakan oleh Mazhab Alexandria. Demikian juga
dalam Islam, ilmu tafsir (hermeunitika Al-Qur’an) dipakai sebagai upaya untuk
memahami kandungan Al-Qur’an, sehingga muncul beraneka macam metode tafsir.
Hermeunitika Al-Qur’an dalam perspektif ini dijadikan sebagai sebuah teori
tafsir untuk mengungkapkan makna “tersembunyi” di balik teks atau kitab suci.
b) Hermeunitika
sebagai Metode Filologi
Dalam
laju perkembangannya, hermeunitika mengalami perubahan dalam memperlakukan
teks. Perkembangan ini merambat sejalan dengan perkembangan rasionalisme dan
filologi pada abad pencerahan. Dalam wilayah ini, sekalipun suatu teks berasal
dari kitab suci, harus juga diperlakukan sebagaimana teks-teks buku lainnya.
Semua teks dipandang sama-sama memiliki keterkaitan dengan sejarah ketika teks
itu muncul. Itu artinya, metode hermeunitika sebagai penafsiran kitab suci
mulai bersentuhan dengan teori-teori penafsiran sekuler seperti filologi.
Sumbangan yang berarti dalam memperkaya pengertian hermeunitika ini berasal
dari seorang teolog modern yang bernama Rudolf Bultman dengan konsep penafsiran
demitologisasinya dan Wilhelm Dilthey
dengan konsep historical understandingnya.
Demikian pula terjadi di kalangan pemaharu muslim, seperti Ahmad Khan, Amir Ali
dan Ghulam Ahmad Parves.
c) Hermeunitika
sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Hermeunitika
linguistik sebagai kelanjutan dari hermeunitika filologis, ia telah melangkah
lebih jauh di balik teks. Hermeunitika jenis ini menyatakan bahwasanya sebuah
teks yang dihadapi tidak sama sekali asing dan tidak sepenuhnya biasa bagi
seorang penafsir. Keasingan suatu teks di sini diatasi dengan mencoba membuat
rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin pengarangnya dan
berempati dengannya. Dengan kata lain harus juga dilakukan penafsiran
psikologis atas teks itu sehingga dapat mereproduksi pengalaman sang pengarang.
d) Hermeunitika
sebagai Fondasi Metodologis dari geiteswissenschaften
Dalam
perkembangannya, hermeunitika dalam perspektif ini dijadikan sebagai metode
untuk memperoleh makna kehidupan manusia secara menyeluruh, sehingga garapan
kerjanya tidak semata-mata interpretasi teks saja, tetapi berusaha memperoleh
makna kehidupan dari semua bentuk sinyal dan simbol, praktik sosial,
kejadian-kejadian sejarah dan termasuk juga karya-karya seni. Menurut Dilthey,
suatu peristiwa sejarah itu dapat dipahami dengan tiga proses. Pertama,
memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku aksi. Kedua, memahami arti atau
makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa
sejarah. Ketiga, menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang
berlaku pada saat sejarawan yang bersangkutan hidup.
e) Hermeunitika
sebagai Fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial
Hermeunitika
sebagai “hermeunitika dasein” merupakan hermeunitika yang tidak terkait dengan
ilmu atau peraturan interpretasi teks dan juga tidak terjait dengan metodologi
bagi ilmu sejarah (humaniora), tetapi terkait dengan pengungkapan fenomologis
dari cara beradanya manusia itu sendiri. Pada intinya menurut Edmund Husserl
mengatakan bahwa pemahaman dan penafsiran adalah bentuk-bentuk eksistensi
manusia.
f) Hermeunitika
sebagai Sistem Penafsiran
Setelah
hermeunitika mengalami beragam pendefinisian di tangan beberapa tokoh, dari
mulai pengertian sebagai teori penafsiran konvensional sampai merupakan bagian
dari metode filsafat, kemudian muncullah seorang tokoh bernama Paul Ricoeur
yang menari kembali diskursus hermeunitika ke dalam kegiatan penafsiran dan
pemahaman teks. Lebih lanjut dia mengatakan, hermeunitika adalah teori mengenai
aturan-aturan penafsiran yaitu penafsiran terhadap teks tertentu atau
sekumpulan tanda atau simbol yang dianggap teks. Hermeunitika juga bertujuan
untuk menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol dengan cara membuka
selubung-selubung yang menutupinya. Hermeunitika membuka makna yang
sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaragaman makna dari
simbol-simbol. Langkah pemahaman Hermeunitika menurut Ricoeur ada tiga langkah
yakni Pertama, langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua,
pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Ketiga,
langkah filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik
tolaknya.
2.2
Penerapan Hermeunitika
Sebagai
ilmu yang memahami sebuah teks, hermeneutika mempunyai tingkat fleksibilitas
yang tinggi. Ia dapat diterapkan di sejumlah ilmu-ilmu kemanusiaan. Pengalaman
kehidupan manusia menyimpan banyak pelajaran tentang kehidupan. Pengalaman masa
lalu manusia seringkali tidak selalu sama dengan apa yang terjadi saat ini.
Pengungkapan pengalaman manusia di masa lalu selalu asing bagi pembaca
berikutnya. Disinilah perlu adanya penafsiran secara benar pengalaman itu.
Pengalaman manusia tidak hanya berada dalam satu ruang lingkup saja. Pengalaman
manusia inilah yang telah mengajarkan ilmu-ilmu kemanusiaan. Agar kita dapat
belajar dan memahami tentang pengalaman-pengalaman manusia masa lampai yang
berguna bagi kelangsungan kehidupan manusia maka ilmu-ilmu kemanusiaan itu
sangat memerlukan hermeunitika (Dilthey dalam Subiyantoro, 2006: 80).
Hermeneutika
sebagai proses penafsiran sudah berlangsung sejak dahulu, namun hermeneutika
sebagai istilah baru dikenal di seputar abad ketujuh belas. Disiplin ilmu yang
kerap kali menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir kitab suci. Semua karya
yang berasal dari sebuha wahyu illahi seperti Al-Qur’an, Injil, Taurat, Veda
agar dapat dimengerti oleh umatnya memerlukan hermeneutika untuk
menafsirkannya. Tanpa adanya upaya penafsiran, maka sebuah prasasti yang ada
hanyalah sebuah batu dengan tulisan kuno yang tidak bermakna sama sekali bagi
orang yang melihatnya kecuali sekedar kekagumannya terhadap prasasti tersebut.
Menurut
Sumaryono dalam Subiyantoro (2006: 80) menyatakan bahwa pentingnya hermeneutika
dalam ilmu sejarah adalah memberikan penafsiran terhadap produk sejarah yang
telah ditunjukkan lewat sebuah prasasti. Dengan hermeneutika orang akan tahu
bagaimana sebenarnya sejarah tentang kehidupan kerajaan masa lampau dan makna
apa yang diperoleh dari sejarah melalui prasasti. Tidak hanya dalam ilmu agama
dan sejarah, hermeneutika juga dapat berguna dalam hukum dan seni.
Kunci
dari sebuah hermeneutika adalah bahasa. Karena melalui bahasa kita dapat
berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pun kita juga bisa salah paham atau salah
tafsir. Pengertian dan penafsiran yang diperoleh sangatlah tergantung dari
banyaknya faktor yang ada yakni mengenai siapa yang berbicara, keadaan khusus
yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti
sebuah peristiwa bahasa.
Hermeneutika
yang merupakan ilmu penafsiran terhadap sesuatu mempunyai pola kerja yakni
sebagai pemberi potensi nilai terhadap suatu obyek. Maksudnya disini ialah,
sebelum kita menafsirkan sebuah obyek maka kita harus lebih dahulu mengerti dan
memahami. Memang pada kenyataannya untuk mengerti lebih dahulu dan tidak dapat
menentukan pada indikator-indikator tertentu atau waktu-waktu tertentu.
Mengerti seringkali terjadi begitu saja secara alamiah. Bisa jadi seseorang
menjadi mengerti setelah penafsiran atau sebaliknya, mengerti dahulu setelah
itu baru muncul penfasiran. Inilah yang disebut dengan “lingkaran hermeneutika”
(Sumaryono dalam Subiyantoro, 2006:82).
Kegiatan
penafsiran adalah proses yang bersifat triadik (mempunyai tiga segi yang saling
berhubungan). Dalam hal ini seseorang yang melakukan penafsiran hendaknya dua
harus mengenal pesan atau teks yang ada, lalu setelah itu ia harus meresapi isi
teks yang ada sehingga seorang penafsir tersebut seolah-olah bisa berada dalam
keadaan dimana teks tersebut berada. Dengan begitu maka penafsir bisa memahami
secara sungguh-sungguh terhadap suatu pengetahuan yang akan ditafsirkan
tersebut dengan benar. Seorang penafsir, tidak boleh bersifat pasif, ia harus
melakukan suatu proses rekontruksi makna. Rekontruksi makna merupakan suatu
proses pemahaman yang kita peroleh melalui proses menghubungkan semua bagian
yang ada dalam suatu obyek yang diteliti. Semua detail yang ada harus
diperhatikan karena apabila hal tersebut diabaikan maka tidak akan tercipta
suatu rekonstruksi yang menyeluruh. Dari keseluruhan proses yang dipaparkan
diatas itulah yang kemudian dikenal dengan metode hermeneutika yaitu suatu
proses memahami makna (Schleiermacher dalam Subiyantoro, 2006: 83).
Dari
beberapa hal diatas dapat pula diketahui bahwa cara kerja hermeneutika adalah
mengenai penegasan makna otentik yang ingin dicapai selalu dilihat dalam
konteks ruang dan waktu. Memahami makna objek yang diluar konteks akan mendapat
sebuah makna yang kita lihat adalah pemahaman makna semu. Keautentikan makna
hanya bisa dimengerti dan dipahami dalam ruang dan waktu yang persis tepat
dimana ia berada. Artinya, setiap makna selalu tersituasikan dan hanya
benar-benar dapat dipahami dalam situasinya. Pemahaman makna yang tidak
autentik adalah makna yang dikontrol situasi. Jadi inti dari pekerjaan
hermeneutika adalah untuk mengmbalikan pada pengalaman orisinil dari para
penulis (teks) dengan maksud untuk menemukan “kunci” makna kata-kata atau
ungkapan pada konteks saat ini. Dalam mengkaji sebuah teks yang ada dengan
Hermeneutika kita tidak bisa lepas dari dua hal yang sangat berpengaruh yakni
mengenai subyektivitas teks dan subyektivitas penafsir. Untuk lebih jelasnya
akan dibahas sebagai berikut :
1. Subyektivitas
Teks
Teks
dalam arti yang lebih luas tidak hanya sebatas pada pengertian tulisan. Para
ahli Sejarah mulai memperkenalkan begaimana memahami sejarah dengan tidak hanya
dilakukan sebuah teks tertulis. Teks lisan mempunyai otentisitas yang lebih
dari teks tertulis (Guan dalam Subiyantoro, 2006:83). Teks disini mengalami
perluasan makna. Kata-kata yang akhirnya kita tulis adalah sebuah teks tulis,
maka untuk memahami makna dari apa yang dituliskan berarti kita sedang mencari
makna dari teks tulis. Memahami teks juga dapat dilakukan dalam bentuk lain
yakni dengan cara memahami teks secara lisan. Sebuah rekaman wawancara dapat
digunakan ketika ingin memahami makna dari wawancara itu, maka hasil pemahaman
itu berasal dari teks yang terkandung dari hasil wawancara yaitu teks lisan.
Menurut
Subiyantoro (2006:85) menyatakan bahwa teks juga merupakan relalitas sosial
yang mengalami fiksasi atau pemantapan. Oleh karena itu, menafsirkan atau
menganalisis teks tidak lain adalah kegiatan menganalisis atau menafsirkan
suatu realitas sosial yang telah diinterpretasikan ke dalam teks. Teks sendiri
dalam studi ini merupakan suatu ekspresi wacana lisan. Teks sebagai realitas
sosial mempunyai arti bahwa kehadiran teks itu tidak berdiri sendiri. Ia hadir
dalam apa pun bentuknya tidak terlepas peristiwa apa yang menghadirkannya.
Seperti
sebuah prasyarat bahwa kebutuhan subyektifitas teks ini sangat memegang peranan
dalam studi hermeneutika. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Robinson menyatakan
bahwa “suatu hermeneutika yang diterima pada dasarnya adalah titik awal yang
dipilih secara sadar dan berisikan komponen ideologis, sikap, metodologis yang
dirancang untuk membantu usaha interpretasi dan memudahkan pemahaman yang
maksimal (Esack dalam Subiyantoro, 2006:86). Hal ini disampaikan karena
hermeneutika tidak hanya membutuhkan penafsiran teks secara tunggal tetapi
hermeneutika membutuhkan pula penafsiran yang terkait dengan terbentuknya teks
tersebut seperti ideologi, sikap, moral, religiusitas dan sebagainya.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus