MUSIK
DANGDUT INDONESIA:
Akulturasi musik popular
India, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat tahun 1950-2000
Nunung Meitasari[1]
100731403625 / offr D
Abstract
Indonesia is rich in various kinds of offerings
performances. Soedarsono performing arts classify music into two groups, namely
local music and diatonic music. Areas include gamelan music and non-gamelan
music, while music covers diatonic diatonic folk music, Indonesian music and
Western music. From this classification, it can be understood that the dangdut
music, is one of the types of musical performances in Indonesia. Listening to
different kinds of music performances, perhaps it can be said that there is no
live music more popular than dangdut music performance. This popularity can be observed
both by the many writings and broadcast in various media about dangdut, and the
flood of visitors at the show musiktersebut. The presence of dangdut music in
Indonesia, has also attracted the attention of many walks of life. Today the
development of dangdut music in Indonesia is moving forward. It can be seen
from the various types, rhythm, and equipment used. In terms of audience,
dangdut music is one that seems to have a place in the hearts of the public. It
is seen how crowded the audience when there is live music dangdut.
Kata
Kunci: Musik, Dangdut,
Akulturasi
Latar Belakang
Menurut Lohanda (1983:139-140), bahwa
irama dangdut muncul dan
dikenal di tahun
1960-an dengan pemunculan Ellya
Khadam, dengan hit-nya
“Boneka dari India”.
Penamaan irama dangdut diperkirakan merupakan suatu
anomatophea. Pendapat senada, Simatupang (1996:62) menyatakan, “The term itself (dangdut) was derived from
the sound of a pair of small drums played in this particular music”. Juga
Djuanda (1998:t.h) mengemukakan, “ The
Dangdut (pronounced as “dank doot” in English)
is typically Indonesian. This
music is derived from orkes Melayu (=Malay Orchestra). The term of The dangdut
is derived from the percussion sound (“tra-dunk-dunk”) = Dang and the longer
beat followed (“doot”)=Dut.
Dangdut adalah “bahasa” yang sudah
melekat dengan rakyat kecil. Musik dangdut mendapat pengaruh dari kebudayaan Arab, Melayu, India,
dan juga pengaruh warna rock
(musik Oma Irama) (Paper dan Jabo,1987:10). Melihat pertumbuhan dan
perkembangan musik dangdut di Indonesia,
tentunya tidak terlepas dari berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Seperti dikatakan bahwa perkembangan seni banyak dipengaruhi
oleh berbagai faktor non-estetis seperti politik, religi , sosial, dan
sebagainya (Soedarsono,1998:83). Juga Kesumah, et al .,(1995:2) mengatakan
bahwa musik diciptakan sebagai tuntunan masyarakat yang menggambarkan keadaan
suatu jaman. Artinya, bahwa musik dan proses terjadinya musik juga ditentukan
oleh aspirasi masyarakat yang hidup pada
saat itu.
Menyimak repertoar musik dangdut,
tentunya tidak dapat terlepas dari amatan terhadap berbagai elemen musiknya.
Jelasnya, kajian terhadap repertoar musik dangdut pada dasarnya merupakan
sebuah kajian tentang bentuk dan
struktur musik, pola harmonisasi, orkestrasi, gaya, organologi, dan sejumlah komponen musik lainnya.
Pada penelitian sebelumnya yakni
penelitian yang dilakukan oleh Pada penelitian sebelumnya yakni penelitian yang
dilakukan oleh Peneliti
sejarah budaya di majalah Akar dan anggota peneliti budaya di FIB UI, Depok yang berjudul DANGDUTNYA RHOMA IRAMA: Kemempelaian Musik (Melayu-Rock) dan Dakwah dinyatakan bahwa Dangdut Rhoma Irama bukan musik musiman. Dangdutnya sejalan dengan perubahan dan mempengaruhi zaman. Terbukti dengan musikalitasnya yang terus bermutakhir dan liriknya yang kritis dan berpesan moral. Proses pembaruan musik Melayu konvensional dilakukan Rhoma Irama secara bertahap. Mulai dari penggantian alat-alat musik konvensional musik Melayu (lama) dengan alat-alat musik elektrik. Menggunakan bentuk panggung yang lebih megah.
sejarah budaya di majalah Akar dan anggota peneliti budaya di FIB UI, Depok yang berjudul DANGDUTNYA RHOMA IRAMA: Kemempelaian Musik (Melayu-Rock) dan Dakwah dinyatakan bahwa Dangdut Rhoma Irama bukan musik musiman. Dangdutnya sejalan dengan perubahan dan mempengaruhi zaman. Terbukti dengan musikalitasnya yang terus bermutakhir dan liriknya yang kritis dan berpesan moral. Proses pembaruan musik Melayu konvensional dilakukan Rhoma Irama secara bertahap. Mulai dari penggantian alat-alat musik konvensional musik Melayu (lama) dengan alat-alat musik elektrik. Menggunakan bentuk panggung yang lebih megah.
Dalam penelitian dosen Jurusan
Sendratasik FBS Universitas Negeri Semarang. yang bernama Moh. Muttaqin yang
berjudul “PERSEPSI REMAJA KOTA SEMARANG TERHADAP MUSIK DANGDUT” di jelaskan
bahwa remaja kota Semarang
baik yang tinggal
di pinggiran maupun
pusat kota memiliki persepsi yang cukup baik terhadap musik dangdut serta ada perbedaan
persepsi yang sangat signifikan antara
remaja yang tinggal di
pusat/tengah kota dengan yang tinggal di
pinggiran kota terhadap musik dangdut.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah proses akulturasi musik Dangdut Indonesia pada tahun
1950?
2. Bagaimanakah proses musik dangdut Indonesia “go Internasional”
pada tahun 1990-an?
3. Bagaimanakah eksistensi musik dangdut Indonesia pada tahun 2000?
Tujuan
1. Untuk
menjelaskan proses akulturasi musik
Dangdut Indonesia pada tahun 1950
2. Untuk
mendiskripsikan proses musik
dangdut Indonesia “go Internasional” pada tahun 1990-an
3. Untuk
mendiskripsikan bagaimana eksistensi
musik dangdut Indonesia pada tahun 2000
Metode Penelitian
Untuk memperoleh
data dan informasi yang akurat, penulisan artikel
penelitian ini penulis menggunakan metode
dan teknik penelitian sebagai berikut:
1.
Observasi
Teknik ini digunakan untuk mengamati secara langsung bagaimana proses
akulturasi musik dangdut Indonesia yang merupakan dialog global antar budaya
dimana diapropriasi, diterjemahkan, ditransformasi, dan diaduk dan diaduk
dengan sensibilitas local Indonesia di pusat urban Jakarta dan Surabaya decade
1950-an eksistensinya pada tahun 2000.
2.
Wawancara
Dalam penelitian ini, akan dilakukan pula metode wawancara baik dengan
nara sumber yaitu pakar yang mengetahui secara mendalam seluk beluk musik dan
lagu dangdut. Mereka antara lain, pakar-pakar musik dangdut, penyanyi dangdut
yang sedang popular maupun pengarang lagu dangdut.
3.
Studi kepustakaan
Untuk memperdalam teori dan pemahaman dalam melakukan penelitian,
dilakukan studi kepustakaan, yaitu dengan menelaah berbagai buku, artikel,
majalah serta tulisan lain yang ada relevansinya dengan obyek yang diteliti.
Hasil Penelitian
dan Pembahasan
Akulturasi
musik dangdut Indonesia pada tahun 1950-an
Rezim
anti-imperialis presiden pertama Indonesia, Soekarno, mengecam pengaruh budaya
komersial Amerika dan Eropa yang konon merusak (Frederick 1982; Hatch 1985;
Send an Hill 2000). Contohnya, dalam pidato pada tahun 1959, Soekarno mencemooh
bunyi bising music pop Amerika sebagai “ngak-ngik-ngok”. Grup-grup musik
populer yang namanya keinggris-inggrisan dipaksa berganti nama Indonesia untuk
mengenyahkan pengaruh musik Amerika. Pada tahun 1965, Soekarno bahkan memenjarakan
anggota Koes Bersaudara, grup musik pop yang terpengaruh musik Amerika dan
Inggris.
Film Amerika
juga diperlakukan sama. Pada tahun 1664, Panitia Aksi Pemboikotan Film
Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) memboikot film-film Amerika. Tetapi, walaupun
rezim Soekarno berusaha menangkal masuknya film dan music Amerika ke Indonesia,
akhir 1950-an dan awal 1960-an adalah periode yang luar biasa subur dalam
perkembangan musik populer Indonesia. Ratusan stasiun radio gelap yang
dijalankan mahasiswa di Jakarta menyiarkan rekaman-rekaman terlarang, meskipun
peraturan pemerintah membatasi music populer
di jaringan radio nasional. Elemen-elemen music yang bersumber dari
rekaman music Pat Boone, Connie Francis, Elvis Presley, Ricky Nelson, serta Tom
Jones dan The Beatles menjadi unsur penting yang digunakan oleh komponis dan
musisi Indonesia.
Meski menutup
perbatasan Indonesia bagi komoditi budaya dari Amerika Serikat dan Eropa,
Soekarno membuka pintu untuk music popular dari India dan Timur Tengah. Ia
mengizinkan impor film (musical) dari India pada 1950-1964. Film-film dari
Malaysia, yang mengusung cerita dan plot India, luar biasa popular di
Indonesia. Asal-usul dangdut sebagai dialog global antar-budaya, dimana music
popular India, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat diapropriasi,
diterjemahkan, ditransformasi, dan diaduk dengan sensibilitas local Indonesia
di pusat urban Jakarta dan Surabaya decade 1950-an dan 1960-an. Para bintang
dangdut generasi pertama, termasuk Ellya Khadam, Munif Bahasuan, dan A. Rafiq,
mulai menyanyi di grup-grup orkes Melayu pada dasawarsa 1950-an.
Sebagaimana yang
ditulis oleh penyair, budayawan, dan redaktur senior/ pendiri majalah Tempo,
Goenawan Mohamad, film India membawa sesuatu yang baru dan menggairahkan bagi
khalayak Indonesia decade 1950-an. Dialog dalam film-film berbahasa Hindi ini
ditulis dengan teks terjemahan. Tapi biarpun tanpa teks terjemahan, penonton
dapat mengakrabi citraan visual yang kaya, tema yang lugas, dan rumus “enam
lagu dan tiga tarian” pada sebagian besar film India. Selain itu, irama
berbasis Latin yang lazim dalam lagu film India tidak asing di telinga khalayak
ramai yang terbiasa mendengarkan irama rumba dan tango dalam ragam-ragam music
popular berbasis Melayu yang tersedia di berbagai rekaman dan radio sejak
1930-an. Dan music film India, yang sangat diresapi rock n roll Amerika,
mengusung music yang keamerika-amerikaan, yang terbatas peredarannya di
Indonesia kala itu.
Salah satu unsur
utama yang membedakan grup-grup orkes Melayu antara satu sama lain di Jakarta
decade 1950-an adalah apakah grup itu memainkan lagu film India. Yang
membedakan grup-grup tersebut bukan saja repertoar lagunya, tetapi juga
instrument, gaya bernyanyi, lirik, dan afiliasi generasi audiensnya. Munif
Bahasuan, salah seorang perintis dangdut, menyanyikan versi aransemen lagu-lagu
Melayu asal Sumatra Utara. Namun sebagai anggota grup Orkes Melayu Sinar Medan,
ia menyanyikan apa yang disebutnya sebagai “lagu India terjemahan”: lirik
berbahasa Indonesia yang didendangkan dengan melodi lagu film India. Lagu-lagu
India terjemahan ini membangun “bahasa” bersama untuk komunitas Betawi, Arab,
dan India di Jakarta. Awal 1960-an, lagu-lagu India terjemahan ini meletakkan
landasan untuk dangdut, meski nama genre music ini (dangdut) baru muncul satu
decade kemudian. Para komponis menciptakan lagu-lagu yang diilhami lagu film
India, dan juga mengadaptasi lirik Indonesia dengan melodi lagu film India.
Elya Khadam (1932-2009)
dianggap sebagai pelopor genre dangdut. Ketika masih gadis belia, ia
menyanyikan lagu Melayu dan Arab. Ia mulai menyanyikan lagi India pada waktu
film India sangat populer di Indonesia. Dikenal dengan nama Elya Agus, Elya M.
Haris, dan Elya Alwi, Elya Khadam mengenakan busana India dan berusaha menyamai
tarian dan mimic wajah bintang film India. Sebagai artis independen yang
menyanyi diiringi berbagai grup music pada decade 1950-an, ia tampil di
Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Elya adalah komponis yang sangat produktif.
Lagu ciptaannya diantaranya Termenung, Janji. Music film Hindi merupakan mata
air bagi banyak lagunya yang paling terkenal, termasuk “Boneka dari India”.
Dalam “Boneka dari India”, komponis dan vokalis, Elya Khadam emnyiapkan panggung
bagi dangdut. Judul lagu ini jelas merujuk pada India. Dalam lagu cerita ini,
seorang gadis mendapat boneka hadiah ulang tahun dari ayahnya yang baru pulang
dari India. Boneka dengan kostum yang menawan. Matanya yang berkedip-kedip, dan
gerakan goyangnya, dipetik dari citra-citra dalam film India yang begitu
popular pada masa itu.
Pada akhir
1960-an, Rhoma Irama menyanyikan lagu pop Melayu dan pop Indonesia di beberapa
grup musik. Ia membuat rekaman lagu “Di dalam bemo”, berduet dengan penyenyi
pop Indonesia, Titing Yeni, diiringi grup Melayu. Dia juga membuat rekaman
beberapa lagu pop Indonesia dengan iringan grup music Melayu. Pada tahun 1968,
Rhoma Irama bergabung dengan orkes Melayu Purnama yang dipimpin oleh Awab Haris
dan Abdullah. Meraka memperkenalkan beberapa inovasi penting pada orkes Melayu
masa itu. Mereka mengganti gendang kapsul dengan gendang tamtam (gendang
ganda). Dalam upaya mendekati bunyi music film India, pemain suling menciptakan
gaya meniup suling bamboo yang dinamis, yang di kemudian hari menjadi kekhasan
dangdut.
Rhoma Irama
melanggengkan kaitan erat antara lagu film India dan music popular Indonesia.
Lagu-lagu adaptasi ini dicantumkan sebagai karya asli komponis India di
sampul-sampul kaset Rhoma Irama pada masa itu. Rhoma Irama membedakan dirinya
dari para penyanyi lagu terinspirasi India pada era sebelumnya dengan empat
cara. Pertama, ia berkolaborasi dengan penyanyi India dalam berbagai rekaman.
Dalam rekaman-rekaman ini, ia bernyanyi dalam bahasa Hindi, dan mitranya dalam
bahasa Indonesia. Kedua, ia mencantumkan penyanyi India sebagai pencinta atau
pencipta pendamping. Ketiga, ia berpentas di India. Kendati Rhoma Irama membela
basis Melayu music dangdut, karyanya mengakui dan memaklumkan kaitan dengan
music film dan penyanyi India. Keempat, karya ciptanya pernah diterjemahkan
dalam bahasa India (Hindi) dan kemudian direkam oleh penyanyi India
(diantaranya “Penasaran” dan “Tung Keripit”).
Musik
Dangdut Indonesia “Go Internasional” Pada Tahun 1990-an
Menurut tabloid Nova edisi April 1991, “Kopi
Dangdut” menduduki urutan keempat album terpopuler di Jepang, yang menunjukkan
kekuatan pasa global dangdut, dan menjulangkan kebanggaan nasional kepada music
ini di dalam negeri. Kemunculan dangdut di panggung-panggung konser di Malaysia
dan Jepang konon membuat dangdut semakin luas diterima di negeri sendiri
(Perjalanan Musik Dangdut. 1992). Nilai komoditi dangdut di luar Indonesia, dan
bukan popularitas dan nilainya di kalangan sejumlah sangat besar penduduk
Indonesia, membantu meyakinkan masyarakat kelas menengah ke atas bahwa dangdut
memiliki nilai social. Sebaliknya, penggemar dangdut merasa bahwa dangdut sejak
dulu baik-baik saja. Bagi mereka, “go international” tidak banyak artinya. Apa
logika kultural dari “go internasional”? wacana ini muncul dari kalangan “kelas
menengah-ke atas”, yang sejak lama terlibat membentuk wacana tentang dangdut
untuk tujuan material dan ideologis tertentu. Sebagai komoditi, dangdut dapat
dipasarkan ke mancanegara dan dipakai dalam kampanye pariwisata dan slogan
iklan. Dan sebagai symbol bangsa, dangdut bisa digunakan untuk mengintegrasikan
khalayak dangdut ke dalam formasi nasional.
Pada akhir
1990-an, sejumlah tajuk utama memaklumkan bahwa “music dangdut mencapai
puncaknya”. Dangdut untuk semua orang, dari kalangan di lapisan terbawah system
politik, sampai kalangan paling atas. Hebatnya lagi, dangdut bisa berfungsi
sebagai “obat pusing” untuk menyembuhkan lara social di negeri ini, yang sakit
parah diterpa krisis ekonomi Asia pada 1997. Namun demikian, apa gagasan, citra
dan makna tentang rakyat jelata via dangdut yang sesungguhnya muncul di media
cetak popular dan televisi pada 1990-an? Barbagai citra dan cerita terkait
dangdut menjadi semakin jauh dari kehidupan rakyat banyak. Gambar dan cerita tentang
kehidupan glamor selebriti dangdut membanjiri pasar tabloid. Bintang-bintang
dangdut ditunjukkan tampil di studio televisi yang gemerlap atau panggung
konser spektakuler, mengenakan jeans dan baju sport di rumah sambil menikmati
waktu senggang yang melimpah bersama keluarga, naik mobil mahal, memakai busana
bermerek, dan duduk- duduk di kafe bersama sesame selebriti. Sponsor mengalir
dari perusahaan rokok dan obat.
Ketika rezim
Orde Baru Soeharto sedang sekarat pada pertengahan 1997, stasiun televise TPI
menyelenggarakan acara “Anugerah Dangdut 97”. Penghargaan “Tokoh Dangdut Tahun
ini” tidak diberikan kepada penyanyi, pemusik, pencipta lagu, penata music atau
produser, melainkan kepada Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono. Dihadiri
menteri dan jenderal, diantara elite-elite lainnya. Acara Anugerah Dangdut TPI
1997 di gedung Istora Senayan, Kamis malam (10/7), adalah bukti bahwa dangdut
memperoleh tempat yang terhormat, gemerlap, necis, dan tentu sangat bergengsi.
Dengan tumbuhnya
industry dangdut pada 1990-an, dangdut menjanjikan laba untuk pemegang saham
televise swasta, eksekutif industry music, produser kaset, dan sejumlah artis.
Ikatan antara pemerintah dan media massa memungkinkan bentuk-bentuk popular
tertentu tumbuh subur, yaitu bentuk-bentuk yang diproduksi dalam industry yang
punya koneksi kuat dengan pemerintah. Salah satu indicator meningkatnya
popularitas dangdut adalah reportase tentang penjualan rekaman di media cetak
popular. Pada 1991, Tempo menerbitkan liputan khusus panjang-lebar mengenai
kekayaan dan status bintang-bintang dangdut. Angka-angka penjualan yang
terpampang di Tempo mempertunjukkan potensi komersial dangdut disbanding music
pop Indonesia. Ekonomi industry kaset membuat dangdut lebih menguntungkan
daripada music pop Indonesia, karena ongkos produksi album music pop lebih
mahal daripada album dangdut, dan harga kaset dangdut juga lebih murah untuk
dibeli. Akibatnya, para penyanyi pop berbondong-bondong menyeberang ke dangdut.
Eksistensi
Musik Dangdut Indonesia pada tahun 2000
Siapa yang tidak kenal
musik? Jenis hiburan yang satu ini sangat populer di seluruh lapisan
masyarakat. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Beragam
jenis musik yang ada menjadikan musik sebagai hiburan yang universal. Walaupun
pada kenyataannya, jenis-jenis musik tersebut secara langsung maupun tidak
telah membagi masyarakat pecinta musik menjadi tersegmen. Baik tersegmen secara
usia, jenis pekerjaan, bahkan tingkat ekonomi dan sosial masyarakat.
Di Indonesia sendiri
beragam jenis musik telah masuk dan berkembang. Satu dari banyak genre musik
yang memiliki paling banyak massa dan juga penggemar adalah Dangdut. Dangdut merupakan salah
satu genre seni musik yang berkembang di Indonesia. Bentuk musik ini sebenarnya
berasal dari musik Melayu yang eksis di Indonesia pada tahun 1940-an. Dalam
evolusinya menuju musik kontemporer, dangdut yang sekarang kita dengar banyak
mendapatkan pengaruh dari unsur-unsur musik India terutama dalam penggunaan
tabla dan juga musik Arab pada cengkok dan harmonisasinya. Sekitar 30% dari
musik dangdut terpengaruh dari unsur musik India, dan 20% berasal dari unsur
musik Arab. Sedangkan sisanya adalah campuran antara Melayu-Indonesia.
Sekitar tahun 1960-an,
seiring dengan perubahan arus politik di Indonesia dan membuka masuknya
pengaruh musik barat yang kuat terhadap musik Dangdut, selanjutnya instrumen
dalam dangdut menjadi lebih beragam contohnya saja digunakannya gitar listrik.
Selain itu, pemasaran dari musik ini juga berubah. Sejak tahun 1970-an,
dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuk kontemporer. Sebagai musik
populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh musik lain, mulai dari
keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music. Kenyataan
ini dapat kita lihat bahwa pada periode tahun 2000 sampai saat ini, banyak
lagu-lagu dangdut yang dibuat versi house music-nya, kemudian lagu-lagu pop dan
rock yang dibuat versi dangdutnya. Dan yang paling terlihat adalah bahwa
melayu-dangdut juga mempengaruhi para musisi muda Indonesia dalam menciptakan
lagu-lagu yang bernada demikian, yang juga dipadu-padankan dengan musik pop.
Sebut saja antara lain Kangen Band, ST12, Wali Band, Hijau Daun, bahkan band
sekelas Ungu di beberapa lagunya kerap kali memasukkan unsur dangdut-melayu
seperti pada lagu Hampa Hatiku dan juga Cinta Gila.
Darimanakah asal kata
“dangdut” sebenarnya? Dangdut
sebenarnya adalah onomatope dari suara permainan tabla, atau yang lebih dikenal
dengan gendang dalam dangdut, yang khas dan didominasi oleh bunyi ‘dang’ dan
‘ndut’. Sebenarnya, nama dangdut ini adalah julukan sinis dalam sebuah artikel
majalah di awal tahun 1970-an bagi bentuk musik melayu yang sangat populer di
kalangan masyarakat pekerja saat itu. Dari sini sudah dapat dilihat bahwa pada
perkembangannya, dangdut memang sudah sangat lekat dengan masyarakat ekonomi
menengah kebawah. Walaupun tidak jarang kita temukan ‘juragan-juragan’ yang
juga menyukai dangdut.
Perjalanan musik
dangdut sejak awal kemunculannya sampai sekarang tidaklah semulus musik-musik
yang lainnya. Musik dangdut muncul dan tertatih-tatih menuju ketenaran. Hal ini
mungkin dikarenakan dangdut lebih dekat dan identik dengan kaum marginal,
pinggiran dan ndeso. Dengan kata lain, musik dangdut dibilang kampungan atau
dalam bahasa anak sekarang adalah musik alay. Tidak dapat dibantahkan
lagi jika kita menelisik tentang sejarah munculnya dangdut, maka kita juga
pasti akan membicarakan tentang musik melayu. Musik melayu ini menjadi booming
ketika penyanyi Said Effendi muncul pada dasawarsa 1960-an. Berkat Said
Effendi, musik melayu-pun menjadi identik dengan musik Indonesia, tidak lagi
Malaysia. Dengan lagu Bahtera Laju yang dinyanyikannya pada saat itu, Said
Effendi telah berhasil menempatkan dirinya sebagai pelantun musik melayu nomor
satu di Indonesia. Banyak yang mengira Said Effendi adalah seorang Malaysia
karena cengkok melayunya yang sangat kental. Pada kenyataannya, Said adalah anak
keturunan Arab dari Bondowoso Jawa Timur yang sudah sangat akrab dengan musik
Gambus. Setelah merasa cukup dikenal, Said Effendi kemudian membentuk orkes
melayu Irama Agung, diikuti sukses dengan menyanyikan lagu karya Husein Bawafie
yang berjudul Seroja. Dan sudah dapat dipastikan bahwa keberhasilan Said
Effendi ini merupakan titik tolak dari perjuangan para penyanyu lagu melayu di
Indonesia. Tak
lama berselang, munculah Ellya Khadam yang mulai menyihir publik dengan hobinya
yang mengolah lagu-lagu bersyair India. Sebut saja Boneka Dari India yang
adalah aslinya lagu yang berjudul Sama Hai Bahar Ka yang dinyanyikan oleh
penyanyi top India Lata Mangeshkar. Lagu Boneka Dari India ini kerap kali
disebut-sebut menjadi salah satu tonggak penting sejarah musik dangdut
Indonesia karena menjadikan musik melayu-dangdut mengenal perkusi India. Selain
lagu Sama Hai Bahar Ka, lagu terkenal lain yang juga pernah di-remake oleh
Thomas Djorghi pada tahun 1997an adalah lagu Vayan kamahina pavane karesole
yang pada saat itu sudah dihapal publik diluar kepala.
Orkes Melayu (OM) mulai
banyak bermunculan seiring dengan banyaknya penggemar jenis musik ini. Bahkan
OM yang muncul merupakah leburan dari orkes Gambus yang telah ada. Sebut saja
OM Kenangan pimpinan Husein Aidid yang merupakah leburan dari Orkes Gambus Al
Waton dan OM Sinar Medan pimpinan Umar Fauzi Aseran yang merupakan leburan dari
orkes Gambus Al Wardah. OM-OM lain terus bermunculan sampai akhirnya lahirlah
OM Soneta yang berasal dari Tasikmalaya pimpinan Rhoma Irama. Pada akhir tahun yang
sama, muncullah artis-artis yang yang namanya bahkan masih dikenal sampai
dengan saat ini seperti Ellya Khadam, Ida Laila, A. Rafiq, M. Mashabi, Elvy
Sukaesih, Muchsin Alatas, Mansyur S, dan tentu saja Rhoma Irama.
Suksesnya musik ini
menjadi pilihan masyarakat pada saat itu membawa nama dangdut melegenda dan
menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Terlebih lagi dengan munculnya Rhoma
Irama dan Elvy Sukaesih yang kemudian diberi gelar Raja Dangdut dan Ratu
Dangdut. Kedua musisi dangdut papan atas ini memiliki massa yang super besar.
“Kekuasaan” mereka yang memerintah tanpa kerajaan ini telah berhasil menyihir
khalayak dengan sederet lagu-lagu dangdut mereka. Pada era tahun ini
musik melayu-dangdut sempat tenggelam karena munculnya musik pop macam Koes
Bersaudara. Meskipun begitu, dangdut tetap survive dengan merajai kalangan
pinggiran hingga akhirnya dangdut kembali merajai dengan sukses yang diraih
oleh Ellya Khadam dengan lagunya pada saat itu Kau Pergi Tanpa Pesan pada
sebuah pertunjukkan musik di Istora senayan. Pertunjukkan musik tersebut
mendapat perhatian yang besar dari masyarakat Jakarta dan sekitarnya dan
menjadi istimewa karena pada pertunjukkan itulah pertama kalinya musik
melayu-dangdut muncul dengan diiringi band.
Kesuksesan musik
dangdut inilah yang dimanfaatkan oleh Rhoma Irama yang pada awalnya adalah
penyanyi Pop dan Rock untuk mulai terjun ke dunia dangdut secara total. Alasan
yang diberikannya pun sungguh ‘ideologis’. Di mata Rhoma, musik dangdut ini
adalah milik orang-orang marjinal, kaum pinggiran yang mendapat perlakukan
diskriminatif dari kelompok masyarakat kelas atas. Karena itulah dia ingin
mengubah pandangan orang-orang tentang hal tersebut dan memperjuangkan musik
dangdut ini. Rhoma Irama bahkan melakukan improvisasi dalam musik dangdut
dengan memanfaatkan berbagai macam perangkat elektrik band pada orkes melayunya
pada saat itu. Rhoma melakukan perombakan besar-besaran dalam hal instrumen,
syair, bahkan kostum pemusiknya. Bahkan Rhoma juga memasukkan ruh musik rock
dalam tatanan musik dangdutnya itu. Dengan berbekal pengalamannya bergaul
dengan para senior musik melayu dalam waktu yang cukup lama, Rhoma akhirnya
membentuk OM SONETA pada awal tahun 1973.
Dari sinilah kesuksesan
demi kesuksesan diraih Rhoma dengan berbagai terobosan-terobosan yang menjadi
bagian dari instrumen musiknya. Misalnya saja dari segi instrumen, dia
memadupadankan gendang dengan saksofon, gitar listrik dan juga backing vocal.
Dari segi performance, jika biasanya OM dinyanyikan sambil duduk, dia
membuatnya lebih atraktif. Sedangkan dari segi lirik dan aransemen, jika
biasanya lirik lagu melayu identik dengan kepedihan, mendayu-dayu dan ratapan,
maka Rhoma menawarkan sesuatu yang lebih optimistis dan dinamis. Lagu-lagu yang
diciptakannya sendiri dan dinyanyikannya pada waktu itu bahkan langsung
mengepung telinga pendengar musik dangdut. Sebut saja Begadang, Penasaran dan
Darah Muda.
Sampai saat ini
lagu-lagu tersebut bahkan masih bergaung di Indonesia. Tidak hanya dari
panggung ke panggung Rhoma memasarkan musik dangdutnya, tetapi dia juga mulai
merambah ke dunia film. Banyak sekali film yang dibintangi oleh Rhoma sendiri
dengan lagu-lagu yang juga diciptakannya sendiri. Film-film tersebut tak pelak
menjadi serbuan pada pecinta dangdut. Munculnya Rhoma Irama ini bagaikan
perlawanan dari pihak musisi dangdut atas cemoohan yang sempat diterima mereka
pada awal kemunculan musik tersebut. Rhoma dengan gigih memperjuangkan musik
dangdut yang ditekuninya itu sehingga jika kita mendengar kata dangdut, pasti
yang akan langsung terbayang adalah Rajanya, yaitu Rhoma Irama. Salah satu lagu
yang diciptakannya bahkan mencerminkan musik dangdut itu sendiri, yaitu
Terajana. Dapat ditangkap dari liriknya, “sulingnya suling bambu, gendangnya
kulit lembu. Dangdut suara gendang, rasa ingin berdendang...” Dan memang, tidak
bisa lain lagi selain dangdut yang dapat melahirkan rasa ingin bergoyang jika
mendengarkan alunan musiknya. Lebih dari itu, Rhoma Irama pun kemudian
“mengislamkan” dangdut dan menegaskan bahwa OM Soneta pimpinannya adalah sound
of moslem.
Revolusi ini ternyata
tidak hanya mengubah wajah dangdut, melainkan juga memperluas publiknya, tidak
hanya kaum pinggiran, tetapi juga generasi muda yang tergila-gila Rock. Apa
yang dilakukan Rhoma Irama ini kemudian menunjukkan bahwa dangdut jauh lebih
kosmopolit daripada yang diduga kebanyakan masyarakat. Dangdut tidak pernah
memilih proteksi dalah menghadapi lawan-lawannya yaitu aliran musik lain.
Dangdut bahkan merangkut lawan-lawannya karena kelenturannya yang mengadaptasi
elemen asing yang tidak dimiliki jenis musik lain. Berkat pengaruhnya
dangdut yang dibawanya itu, banyak akhirnya penyanyi pop yang mendulang rejeki
dari irama melayu-dangdut. Seperti misalnya Zakia yang dinyanyikan oleh Ahmad
Albar.
Dangdut pun go
international sejak Camelia Malik dan Reynold Panggabean dengan grup
Tarantula-nya manggung di pusat hiburan di Shibuya, Tokyo, Jepang, selama tiga
hari berturut-turut. Atau ketika Fahmi Shahab, Hetty Sanjaya dan Elvy Sukaesih
juga melintasi Jepang. Lagu Kopi Dangdut bahkan sempat menduduki peringkat satu
di tangga lagu Jepang dan direkam dalam versi Jepang dengan judul Coffee Rumba. Rhoma Irama kami rasa
cukup mewakili seluruh artis dangdut pada masa itu karena diantara semuanya,
Rhoma Irama-lah yang dirasa paling berpengaruh. Pada tahun 1980-an, banyak
muncul artis-artis dangdut yang sekarang justru ngetop seperti misalnya Evie
Tamala, Rita Sugiarto, Iis Dahlia, Cici Paramida, dan masih banyak lagi.
Tak hanya sukses
menghibur masyarakat pada tahun 70an sampai 90an, dangdut juga masih tetap
eksis di tahun 2000. Bahkan di millenium ini, dangdut makin melanglangbuana.
Banyak sekali artis-artis dangdut baru yang muncul dari kontes-kontes dangdut
yang ada. Dan yang paling terkenal adalah Kontes Dangdut TPI (yang belakangan
berubah menjadi Kontes Dangdut Indonesia) atau disingkat KDI yang merupakan
pelopor kontes dangdut Indonesia.
Pada kisaran tahun
2000an, Indonesia sedang dilanda demam kontes. Hal ini berawal dari munculnya
sebuah kontes pencarian bakat yang digelar oleh Indosiar yaitu Akademi Fantasi
Indosiar. Pada tahun yang sama, RCTI bekerja sama dengan Fremantle Media juga
menggelar kontes yang sudah mendunia yaitu Indonesian Idol. Dari sinilah, TPI
sebagai satu-satunya televisi swasta yang sudah identik dengan berbagai macam
acaranya yang mengusung tema dangdut menggelar kontes serupa, yaitu Kontes
Dangdut TPI. Menurut
pihak TPI, alasan TPI menggelar kontes dangdut ini bukanlah karena latah
mengikuti stasiun televisi lain yang pada waktu itu sukses dengan kontes yang
mereka buat. Tetapi menurut TPI, musik dangdut haruslah menjadi tuan rumah di
negeri sendiri. Dan seperti halnya musik lainnya, regenerasi dalam dangdut
mutlak diperlukan untuk kelangsungan dan juga perkembangan musik itu sendiri.
Dari KDI inilah banyak
ditemukan bibit-bibit potensial dari seluruh pelosok nusantara yang tidak hanya
mengandalkan paras yang cantik, tetapi juga memiliki kemampuan vokal yang cukup
dapat diperhitungkan. KDI
bertahan sampai dengan musimnya yang ke-6 dan sudah lebih dari seratus artis
dangdut baru dihasilkan dari enam musim tersebut. Tidak hanya dari Indonesia,
kontestan KDI juga ada yang berasal dari Brunei dan Malaysia. Hal ini tentu
saja membuat penonton KDI tidak hanya membludak di Indonesia, tetapi juga di
kedua negara tetangga tersebut. Dan karena adanya kontestan dari luar Indonesia
itu, KDI (yang pada saat itu memasuki season 4) mendapatkan rekor dengan
pemirsa terbanyak sepanjang sejarah KDI (season 1 sampai 3). Jika diperhatikan,
proyek ‘latah’ TPI ini ternyata mampu membuat pemirsa setia dangdut menjadi
lebih bersemangat dan menanti-nantikan program ini. Karena memang, diantara
semua stasiun televisi yang ada di Indonesia, hanya TPI satu-satunya stasiun
televisi yang paling care terhadap musik dangdut yang notabenenya adalah
musiknya Indonesia. Dan di mata masyarakat, TPI mulai dianggap televisi yang
telah berperan mengangkat derajat musik dangdut di negerinya sendiri. Dan KDI
juga tentu mengangkat nama TPI menjadi televisi yang meraih penonton paling
banyak di Indonesia.
Lalu apa yang
menyebabkan acara ini diminati oleh begitu banyak penonton? Jika bicara tentang hal
tersebut, tentu saja berkaitan dengan dangdut sebagai musik yang sejak awal
identik dengan masyarakat menengah kebawah. Sebagai negara berkembang,
Indonesia memiliki komposisi penduduk berbentuk piramida yang berarti, banyak
penduduk di Indonesia yang tergolong ke dalam kalangan menengah ke bawah.
Sekitar 70% dari penduduk Indonesia adalah kalangan tersebut. Dan bayangkan
saja, berapa banyak masyarakat kita yang menyukai dangdut, mungkin tidak
keseluruhan dalam 70% itu, tetapi paling tidak melebihi setengah dari jumlah
keseluruhan penduduk di Indonesia.
Setelah sekian lama
televisi Indonesia hanya menayangkan program dangdut yang “biasa”, dengan
munculnya KDI yang notabenenya adalah sebuah acara dengan konsep berbeda dan
mengusung tema dangdutmusik rakyat yang cocok dan mudah diterima
masyarakatmembuat masyarakat kita yang sangat peka terhadap hal-hal baru
menjadi tergugah untuk menonton sampai akhirnya menjadi salah satu acara wajib
mereka saat itu. KDI
juga merupakan kontes pencarian bakat dengan rating yang cukup tinggi. KDI
berada di urutan teratas dalam TOP Program Entertainment (angkanya mulai dari
9,5 untuk Rating dan 28,5 untuk share, dan bahkan mencapai dua digit menjelang
final). Selain
KDI, banyak juga program serupa yang dibuat oleh TPI maupun televisi lain.
Sebut saja Kondang-In buatan Indosiar yang digelar hampir pada saat bersamaan
dengan KDI season 2, kemudian diikuti oleh acara-acara seperti Dangdut Mania,
Langsung Beken, Stardut, dan masih banyak lagi.
Selain kontes, dangdut
pada tahun 2000an juga sangat fenomenal karena pada kisaran tahun tersebut,
banyak muncul artis-artis dangdut dengan julukan “ratu goyang”. Sebut saja Uut
Permatasari yang diberi julukan ‘Ratu Ngecor’, Annisa Bahar yang diberi julukan
‘Ratu Goyang Patah-patah’ dan yang paling fenomenal tentu saja Inul Daratista
dengan julukan yang melekat padanya, ‘Ratu Ngebor’. Munculnya artis-artis
dangdut tersebut diatas memicu banyak pro dan kontra, tidak hanya dari kalangan
dangdut, tetapi juga ulama, pejabat dan bahkan artis-artis dari dunia hiburan
lain. Namun yang paling kontroversial adalah cekalan yang diberikan oleh sang
Raja Dangdut Rhoma Irama.
Rhoma
dengan sangat tegas melarang Inul untuk menyanyikan lagu dangdut karena
goyangannya dianggap merusak moral dan sangat tidak sesuai dengan jiwa musik
dangdut itu sendiri. Rhoma menganggap bahwa goyangan Inul (dan ini secara tidak
langsung menyeret semua ratu goyang pada masa itu) adalah hal negatif yang
dapat mengundang birahi, berbau pornografi dan juga dapat merendahkan pamor
musik dangdut. Rhoma mengatas-namakan organisasi PAMMI (Persatuan Artis Musik
Melayu Indonesia), dengan tegas dan terang-terangan menentang Inul dan
peredaran album Goyang Inul yang dirilis pada tahun 2003. Tidak hanya itu saja,
Rhoma juga kembali mengeluarkan pernyataan menentang aksi panggung Inul dalam
dengar pendapat pembahasan RUU Antipornografi antara DPR dan kalangan artis pada
Januari 2006.
Sikap Rhoma Irama ini
menimbulkan banyak pro dan kontra bagi masyarakat. Ada yang mendukung, ada pula
yang dengan tegas menolak dan mengatakan Rhoma ‘sok berkuasa’. Kalangan artis
pun terpecah menjadi dua, ada yang mendukung Inul dan ada pula yang menolak.
Namun pada akhirnya, pro dan kontra Inul menjadi jejeran kisah yang sangat
panjang sampai akhirnya Inul tenggelam dengan sendirinya seiring beregenerasinya
artis-artis dangdut. Dan
yang tak kalah kontroversialnya adalah kemunculan Dewi Persik. Penyanyi yang
sama sekali tidak memiliki album ini dengan cepat melejit berkat goyang gergaji
yang ditampilkannya setiap kali manggung. Dewi Persik menjadi bahan pembicaraan
hampir semua acara gosip di televisi, hanya saja bukan karena kemampuannya dalam
bernyanyi, tetapi karena kehidupan pribadinya yang kontroversial. Namun secara
tidak langsung, inilah yang membuat Dewi Persik terkenal dan bisa tampil
bernyanyi di semua panggung di Indonesia. Tak jauh berbeda dengan Inul dan
kawan-kawan goyangnya, Dewi Persik juga mendapatkan banyak cekalan dari
masyarakat Indonesia karena memang gaya panggung dan juga busana yang
digunakannya saat manggung dinilai seronok. Bahkan beberapa kali Dewi Persik
mengalami pelecehan seksual karena penampilannya itu dan juga mengalami
kejadian buruk seperti kemben jatuh dan sebagainya. Berkat kontroversinya, Dewi
Persik sukses membintangi berbagai macam judul film horor bergenre dewasa.
Pada akhir tahun 2009,
dangdut mulai hilang dari peredaran seiring dengan berkembangnya musik
Indonesia dan menjamurnya band-band pop dan penyanyi baru. TPI bahkan sudah
meniadakan Kontes Dangdutnya yang fenomenal itu. Namun pesona band pop membuat
TPI terpaksa menghapus KDI karena mengikuti selera penonton. Hal ini secara
tidak langsung membuat dangdut perlahan menghilang dari layar kaca, mengingat
TPI adalah satu-satunya televisi yang konsisten dalam menampilkan tayangan
dangdut. Artis-artis dangdutpun mengaku sulit untuk tampil di televisi.
Namun, pada waktu yang
tidak jauh berselang, sebuah perusahaan label rekaman mengeluarkan jurus jitu
mereka. Pada akhir tahun 2009 lalu, muncul sebuah band yang mengusung tema
dangdut, hanya saja dangdut yang mereka tawarkan lebih menarik dan juga lebih
modern. Band ini tak lain dan tak bukan adalah Ridho Rhoma dan Sonet2 Band.
Band ini telah mengembalikan citra dangdut di mata masyarakat dan mulai dilirik
lagi. Konsep yang ditawarkan dari Ridho Rhoma dan Sonet2 Band adalah dangdut
modern. Mulai dari aransemen musiknya sampai video klipnya. Lagu-lagu yang dinyanyikannya
sebenarnya hanya lagu daur ulang dari lagu-lagu ayahnya, Rhoma Irama. Hanya
saja karena aransemen modern itulah yang membuat Ridho Rhoma menjadi hits dan
dapat disejajarkan dengan band-band pop Indonesia. Dan bahkan acara-acara
televisi lain yang sebelumnya tidak pernah melirik dangdut (sebut saja Inbox)
kerap kali menampilkan Ridho Rhoma sebagai bintang tamu.
Dangdut sebagai musik
identitas Indonesia memang sudah sepantasnya untuk dilestarikan. Namun
regenerasi dalam blantika musik Indonesia dan juga dalam keinginan masyarakat
tidak juga bisa dihindari. Yang perlu dilakukan hanyalah tetap setia dengan
dangdut dengan terus memberikan inovasi terbaru agar masyarakat juga tidak
merasa bahwa musik dangdut terkesan monoton seperti awal kemunculannya. Dangdut menjadi
fenomenal karena dangdut adalah musik semua kalangan, terlebih bagi kalangan
menengah kebawah yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah. Tak bisa
dipungkiri juga bahwa gosip seputar dangdut memang selalu menarik untuk disimak. Dangdut adalah
Indonesia, Indonesia adalah dangdut. Majulah dangdut Indonesia!!!!
Kesimpulan
Popularitas dangdut
di kalangan kelas bawah menjadikan dangdut khususnya matang untuk pembentukan
wacana tentang musik nasional dan identitas nasional Indonesia, karena kaum
kelas bawah merupakan mayoritas masyarakat. Dangdut
membantu memproduksi posisi hegemonik maupun hegemonik-tandingan di ranah
kebudayaan. Dalam pembahasan di atas telah ditunjukkan bagaimana bentuk dangdut
glamor, lembut, dan mengawang-awang, serta menarik perhatian, menjadi situs
istimewa untuk menarasikan bangsa di televisi nasional selama dekade 1990-an,
ketika dangdut diangkat dalam wacana resmi pemerintah tentang kebudayaan.
Sebagai bentuk nasional, dangdut dibayangkan sebagai musik semua orang
Indonesia. Perempuan sebagai representasi simbolis bangsa adalah krusial dalam
proyek naratif ini. pada saat yang bersamaan, lagu bisa bersifat kritis
terhadap formasi nasional ini melalui representasi perempuan yang menantang
citra perempuan ideal versi negara.
Daftar Rujukan
Agus.
2000. Planet Senen: Di Sini Dangdut
Pertama Kali Bersemi. Arda, Agustus, 6.
Aesijah,
Siti . Musik Dangdut: Suatu Kajian Bentuk
Musik.
Dloyana
Kesumah, I Made Purna, dan Sukiyah. 1995. Pesan-pesan
Budaya Lagu-lagu Pop Dangdut dan Pengaruhnya terhadap Perilaku Sosial Remaja
Kota. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Pusat
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Djuanda.
1998. The
Dangdut Music and
Dance. Jakarta September
6, http://www.geocities.com/vienna/choir/3811/dangdut.htm1
Emha,
Ainun Nadjib. 1979. Jiwa Dangdut Kita
pada Dasarnya Sangat Besar. Aktuil, 7 Juni.
Frederick,
william. 1982. Rhoma Irama and the
Dangdut style: Aspects of contemporary Indonesian Popular Culture.
Indonesia 34: 102-130.
Harahab,
Sulaiman. Dangdutnya Rhoma Irama:
Kemempelaian Musik (Melayu-Rock) dan Dakwah. Jurnal FIS Edisi Agustus 2011.
Lohanda,
Mona. 1983. Dangdut : Sebuah Pencarian Identitas
(Tinjauan Kecil dari Segi Perkembangan Historis), dalam Edi Sedyawati
dan Sapardi Djoko Damono (Ed.) Seni dalam Masyarakat Indonesia, Bunga Rampai.
Jakarta: P.T.Gramedia.
Moh.
Muttaqin . Persepsi Remaja Kota Semarang
Terhadap Musik Dangdut.
Susan
Paper dan Sawong Jabo. 1987. Musik Indonesia
dari 1950-an hingga 1980-an. Prisma no.5 Th.XVI Mei 1987.
Weintraub,
Andrew N. 2012. Dangdut: Musik,
Identitas, dan budaya Indonesia. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia).
Wawancara:
Rena KDI lisan pada sabtu,
04 Mei 2013, pukul 10.15: 10 WIB
[1] Mahasiswi Universitas Negeri Malang, Jurusan Sejarah, angkatan 2010,
memenuhi tugas dari mata kuliah Sejarah Hubungan Internasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar