Jumat, 28 Juni 2013

TOKOH-TOKOH HERMENEUTIKA



2.3 Tokoh-tokoh Hermeneutika
Studi  mengenai hermeneutika dalam ranah ilmu pengetahuan tidak bisa lepas dari peran para pemikir hermeneutika yang mensosialisasikan metode ini sebagai pendekatan analisis yang mempunyai tingkat pertanggungjawaban yang tinggi. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dibahas para ahli yang mempopulerkan hermeneutika. Tokoh-tokoh yang akan dibahas pada bagian ini adalah F.D.E Schleirmacher, Wilhelm Ditlhey,Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur.
a.      F.D.E Schleirmacher
Schleirmacher adalah seorang teolog,ahli filologi dan budaya yang merupakan guru besar teologi dan filsafat Universitas Halle di Jerman. Ia dianggap sebagai bapak hermeneutika modern  sebab membakukan hermeneutika menjadi metode umum interpretasi yang tidak terbatas pada kitab suci dan sastra. Pemikiran dalam karya-karyanya merupakan perluasan dari kuliah-kuliah kepada mahasiswa sejak tahun 1805. Sumber pemikiran Schleirmacher berasal dari epistimologi Kant, idealisme Schelling, Fichte dan Hegel serta empirisme Inggris. Dari epistimologi Kant dia mengambil uraian tentang peran akal atau nalar murni dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Idealisme Schelling yang diambil adalah pendangan tentang identitas pribadi yang mempengaruhi corak sebuah karya khususnya karya sastra, sehingga ia dipandang sebagai filosof romantik. Akan tetapi, pemikiran Kant yang menempati porsi utama dalam hermeneutika (Hadi, 2008:44-45).
Schleirmacher memandang hermeneutika adalah sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks-teks mengenai konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma. Tugas hermeneutika adalah memahami teks-teks “sebaik atau lebih baik dari pengarangnya” dan “memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami dirinya sendiri”. oleh karena itu, Schleirmacher membagi pemahaman terhadap hermeneutika kedalam tiga tahap, yaitu:
·         Tahap interpretasi dan pemahaman mekanis yaitu pemahaman dan interpretasi kita dalam kehidupan sehari-hari di jalan-jalan bahkan di pasar atau dimana saja orang berkumpul bersama untuk berbincang tentang topik umum.
·         Tahap ilmiah yang dilakukan di universitas-universitas dan diharapkan adanya pemahaman serta interpretasi yang lebih tinggi. Tahap ini pada dasarnya adalah pemahaman dan observasi.
·         Tahap ketiga adalah tahap seni yaitu aturan yang mengikat atau membatasi imajinasi (Subiyantoro,2006:89).
Pada tahap pertama dan kedua menurut Schleirmacher tidak membawa pada pemahaman yang semestinya. Karena pada kenyataannya teks yang dihadapi tidak cocok untuk taraf-taraf interpretasi dan bahkan sering bertentangan. Schleirmacher lebih cocok pada tahap ketiga karena penekanannya pada seni. Karena bagi Schleirmacher “sebagai suatu seni maka tidak ada hermeneutika yang sudah dikhususkan penggunaannya”. Pemahaman yang selalu dipasangkan dengan interpretasi tidak lain adalah seni, dalam arti bahwa seseorang tidak dapat meramalkan waktu dan cara seseorang mengerti.
Pemahaman Schleirmacher dalam arti seni ditunjang oleh pemahamannya terhadap bahasa. Bahasa hadir sebagai bagian penting dari keseluruhan sistem hermeneutikanya. Menurutnya semakin lengkap pemahaman seseorang atas sesuatu bahasa dan psikologi pengarang, akan semakin lengkap pula interpretasinya. Kompetensi linguistik dan kemampuan mengetahui seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam hal seni interpretasi. Schleirmacher disini memandang bahasa sebagai sesuatu yang identik dengan pikiran. Dari ekspresi bahasa, ciri-ciri pemikiran masyarakat dapat ditentukan (Hadi,2008:46).
Schleirmacher menciptakan dua bentuk hermeneutika yaitu pemahaman ketatabahasaan dan pemahaman psikologis yang ditunjukan oleh jiwa pengarang. sehingga hermeneutikanya sering disebut sebagai hermeneutica intelligendi karena penalaran rasional dan intuisi merupakan dua bentuk kecerdasan tertinggi yang dimiliki manusia. Meskipun individualitas pengarang merupakan tumpuan utama dalam hermeneutikanya, tetapi konteks kesejarahan dan budaya pengarang menjadi pertimbangan yang penting.
Sebuah tafsir membutuhkan intuisi tentang teks yang sedang dipelajari. Sebuah teks yang sedang dipalajari tidak asing bagi kita, juga tidak sepenuhnya biasa bagi kita. Keasingan dalam suatu teks dapat diatasi dengan mencoba memahami si pengarangnya dengan cara membuat konstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin pengarangnya serta berimpati kepadanya. Dengan kata lain, kita harus membaut penafsiran psikologis atas teks sehingga dapat memproduksi pengalaman pengarang. Pandangan Schleirmacher kemudian menuai kritikan karena terlalu psikologis dan mengalami kesulitan karena berusaha untuk mengatasi kesenjangan waktu yang memisahkan antara cakrawala budaya dengan cakrawala budaya pengarang (Hamidi, 2007:62).
Prosedur pemahaman dalam hermeneutika yang diajukan oleh Schleirmacher agak sederhana. Pemahaman dan penafsiran harus diawali dengan perumusan prinsip-prinsip pemahaman terlebih dahulu. Kemudian membangun hermeneutika yang umum (Hadi,2008:48). Seorang pembaca yang ingin memhami sebuah teks harus keluar dari pendiriannya atau teori yang diyakininya agar terbuka terhadap pendirian pengarang yang mungkin berbeda dengan pendiriannya dalam berbagai persoalan.
b.      Wilhelm Ditlhey
Dithey merupakan salah satu penganggum dari filsafat Schleirmacher yang menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya-karya kefilsafatan. Ini merupakan titik awal Dithey menjadi seorang filsuf. Dithey menaruh perhatian pada filsafat kehidupan. Karena filsafat bagi Dithey bersifat esensial historis. Peristiwa-peristiwa sejarah telah menunjukan jiwa manusia yang berubah dalam alur waktu dengan cara yang tidak kelihatan. Karena manusia adalah makhluk yang hidup dan berevolusi (Subiyantoro,2006:91). 
Ditley menaruh perhatian pada metode hermeneutika ketika mencoba untuk memecahkan persoalan tentang bagaimana segala pengatahuan tentang individu atau pengetahuan tentang singularitas eksistensi manusia menjadi ilmiah. Oleh itulah perlu pemahaman diri yang mutlak. Pengalaman tentang geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang hidup tergantung pada pengalaman-pengalaman batin yang tidak terjangkau oleh metode ilmiah (Hamidi, 2007:62). Atas dasar itulah Dithey menyarankan untuk menggunakan hermeneutika.
 Menurut dia hermeneutika adalah dasar pemahaman yang khusus mengenai geisteswissenschaften. Berkenaan dengan keterlibatan individu dalam kehidupan bermasyarakat yang hendak dipahami, ia merasa perlu memiliki tipe pemahaman yang khusus (penafsiran reproduktif). Meskipun orang dapat menyadari keadaan dirinya melalui ekspresi orang lain, namun orang masih dirasa perlu untuk membuat interpretasi atas ekspresi tersebut. Hermeneutika dapat bekerja jika ekspresi sudah dikenal atau tidak asing. Oleh karena itu hermeneutika bagi Dithey bersifat kesejarahan (Hamidi, 2007:62). Peristiwa-peristiwa yang terjadi harus dipahami sebagai suatu ekspresi kehidupan sejarah, sehingga yang diproduksi bukankah pengarangnya tetapi makna peristiwa sejarahnya Ini berarti bahwa makna itu tidak berhenti pada satu masa saja tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarahnya.
c.       Hans-Georg Gadamer
Gadamer merupakan murid dari Martin Heidegger yaitu filsuf besar hermeneutika modern pada abad ke-20. Gadamer meneruskan pemikiran Heidegger yang terkenal dengan lingkaran hermeneutis. Dalam gagasan Heidegger, hermeneutika merupakan bagian dari eksistensi manusia sendiri, built in dalam diri manusia (Hamidi,2007:63). Dalam memahami dunia dan sejarahnya, manusia merupakan cakrawala bagi pemahaman dirinya. Suatu objek menampakkan dirinya hanya dalam suatu keseluruhan makna, dan setiap pengertian tentang objek baru terjadi karena adanya pemahaman yang mendahuluinya sebagai the conditions of possibility (syarat-syarat kemungkinan)[1].
Gagasan tentang lingkaran hermeneutis dikembangkan oleh Gadamer hingga menjadi sebuah teori filosofis mengenai pemahaman sehingga menjadi hermeneutika filosofis. Gadamer melontarkan kritiknya terhadap hermeneutika romantik yang dirintis oleh Schleiermacher dan Dilthey. Baginya, kesenjangan waktu antara kita dan pengarangnya tidak harus diatasi seolah-olah sebagai suatu yang negatif, tetapi justru harus dipikirkan sebagai perjumpaan cakrawal-cakrawala pemahaman. Cakrawala pemahaman dapat diperkaya dengan membandingkannya dengan cakrawala-cakrawala pengarang. oleh karena itu, penafsiran tidak bersifat reproduktif belaka tetapi juga produktif. Artinya bahwa makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya melainkan makna baru bagi kita yang hidup di zaman ini, maka menafsirkan adalah proses kreatif-inovatif.
Gadamer memandang bahwa hermeneutika adalah seni bukan proses mekanis. Jika pemahaman adalah jiwa dari hermeneutika, maka pemahaman tidak dapat dijadikan pelengkap proses mekanis. Pemahaman dan hermeneutika hanya dapat diberlakukan sebagai suatu karya seni. Pemikirannya mengenai hermeneutika, salah satunya adalah konsep mengenai manusia yaitu, bildung atau kebudayaan, Sensus Communis atau pertimbangan praktis yangbaik, Sense Communis dan selera. Konsep-konsep tersebut menuju pada pengetahuan tentang hidup (Subiyantoro,2006:93-94).
d.      Paul Ricoeur
Paul Ricoeur lebih merupakan tokoh hermeneutika modern disamping Gadamer. Karya-karyanya terutama membicarakan mengenai masalah psikoanalisis, hubungan linguistik dengan hermeneutika dan permasalahan strukturalisme. Pemikiran Ricoeur mengenai hermeneutika terdapat dalam karyanya yang berjudul The Rule of Metaphor, Le Conflit des interpretation, Essais d’hermeneutique. Ricoeur mengarahkan hermeneutika ke dalam kegiatan penafsiran dan pemahaman terhadap teks (textual exegesis). Menurut beliau,pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi terhadap interpretasi. Bahkan hidup itu sendiri adalah interpretasi. Sehingga jika terdapat pluralitas makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan" (Sumaryono, 1999:105). Setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna kasusastraan (Subiyantoro,2006:96).
Ricoeur mendefinisikan hermeneutika sebagai kajian untuk menyingkapkan makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak ruang dan waktu dari pembaca. Namun, sebagaimana Hans-Georg Gadamer yang mewakili tradisi hermeneutika filosofis, Paul Ricoeur juga menganggap bahwa "seiring perjalanan waktu niat awal dari penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam memahami teks" (Ricoeur,2003:203). Melalui bukunya, De l'interpretation (1965), Paul Ricoeur mengatakan bahwa hermeneutika merupakan teori mengenai aturan-aturan penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu, atau tanda, atau simbol, yang dianggap sebagai teks. Tugas utama hermeneutika ialah mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks, dan juga mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan teks itu muncul ke permukaan (Sumaryono, 1999:105).
Interpretasi menurut Ricoeur dapat dilakukan dengan cara perjuangan melawan distansi kultural, yaitu penafsir harus mengambil jarak agar ia dapat melakukan interpretasi dengan baik. Namun, yang dimaksudkan Paul Ricoeur dengan distansi kultural itu tidaklah steril dari anggapan-anggapan. Di samping itu, yang dimaksudkan dengan mengambil jarak terhadap peristiwa sejarah dan budaya tidak berarti seseorang bekerja dengan tangan kosong. Posisi pembaca bekerja tidak dengan "tangan kosong" ini, seperti halnya posisi karya sastra itu sendiri yang tidak dicipta dalam keadaan kekosongan budaya. Akan tetapi, seorang pembaca atau penafsir itu masih membawa sesuatu yang oleh Heideger disebut vorhabe (apa yang ia miliki), vorsicht (apa yang ia lihat), dan vorgrif (apa yang akan menjadi konsepnya kemudian). Hal itu artinya, seseorangdalam interpretasi tidaklah dapat menghindarkan diri dari prasangka (Sumaryono, 1999:106-107).
Hermeneutika Ricoeur dibangun berdasarkan tiga teras penting yaitu, filsafat eksistensialisme Gabriel Marcel, Karl Jaspers dan Heidegger. Disini hermeneutika dikaitkan dengan dorongan kodrati manusia untuk bereksistensi melalui bahasa yang terjelma menjadi filsafat, ilmu pengetahuan, agama, seni, kebudayaan, sastra dll. Kemudian dasar-dasar filsafat tentang eksistensi tersebut dipadukan dengan fenomenologi Husserl. Paduan dua arus besar pemikiran modern diperkuat dengan pemikiran Ricoeur sendiri mengenai arkeologi dan eskatologi. Oleh karena itu, hermeneutika Ricoeur dibangun atas pemikiran bagaimana aku yang berfikir (cogito) harus mengada untuk mengatasi pemikiran yang idealistik,subjektif dan solipsistik (Hadi,2008:52).
Hermeneutika bagi Ricoeur merupakan strategi terbaik dalam menafsirkan teks-teks filsafat dan sastra. Penafsiran terhadap sastra harus dilakukan dengan membedakan antara bahasa puitik yang hakikatnya bersifat simbolis dan metaforikal dengan bahasa diskursif nonsastra yang tidak simbolik. Menurutnya, ada tiga ciri utama bahasa sastra yang perlu diperhatikan dalam hermeneutika, antara lain:
·      Bahasa sastra dan uraian filsafat bersifat simbolik, puitik dan konseptual. Didalamnya, kita tidak dapat memberikan makna referensial terhadap karya sastra dan filsafat sebagaimana teks yang menggunakan bahasa penuturan biasa. Bahasa sastra menyampaikan makna simbolik melalui citra-citra dan metafora yang dapat dicekap oleh indera. Sedangkan bahasa bukan sastra berusaha menjauhkan bahasa atau kata-kata dari dunia makna yang luas.
·      Dalam bahasa sastra, pasangan rasa dan kesadaran menghasilkan objek estetik yang terikat pada dirinya. Penandaan harus dilakukan dan tanda harus diselami maknanya, karena tidak dapat dibaca sekilas. Tanda dalam bahasa sastra simbolik sastra mesti dipahami sebagai sesuatu yang mempunyai peran konotatif, metaforikal dan sugestif.
·      Bahasa sastra dalam kodratnya memberikan pengalaman fiksional yaitu suatu pengalaman yang pada hakikatnya lebih kuat dalam menggambarkan ekspresi tentang kehidupan. Oleh karena itu, bahasa sastra yang puitik tidak memberikan kemungkinan bagi pembaca untuk mengalami dan memahami secara langsung apa yang disajikan. Sehingga hermeneutika sangat diperlukan (Hadi,2008:55-56).
Dalam pemikirannya Ricoeur menambahkan bahwa setiap teks memiliki komponen, struktur bahasa, dan semantik yang berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap teks sastra memerlukan model hermeneutika yang berbeda-beda. Ricoeur merinci prosedur umumnya, yaitu pertama, teks harus dibaca dengan penuh kesungguhan dengan menggunakan iamjiansi yang penuh rasa simpati. Kedua, orang yang menggunakan strategi hermeneutika mesti terlibat dalam analisis struktural bahasa teks, kemudian menentukan tanda-tanda simbolik yang penting didalamnya dengan tujuan menyingkap makna batin tersembunyi. Setelah itu baru menentukan rujukan dan konteks dari simbol-simbol yang menonjol. Dia juga harus dapat membedakan metafora dan simbol, karena keduanya merupakan peralatan penting sastra yang membuatnya berbeda dari wacana ilmiah. Ketiga, seorang ahli hermeneutika mesti melihat bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan makna dan gagasan dalam teks merupakan pengalaman tentang kenyataan non-bahasa yang dinyatakan dalam bahasa (Hadi,2008:58).
Dengan demikian pemikiran Ricoeur dianggaps ebagai mediator antara hermeneutika romantik ke hermeneutika filosofis dan juga memperpadukan dua tradisi filsafat yang berbeda yaitu fenomenalogi Jerman dan strukturalisme Prancis.

 Rujukan:
Hadi,Abdul.2008.Hermeneutika Sastra Barat dan Timur. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Hamidi, Jazim.2007.Hermeneutika Hukum (Sejarah Filsafat dan Metode Hukum). Malang: UB Press
Ricoeur, Paul. 2003. dalam Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Terj. Ahmad Norma Permata.Yogyakarta:Fajar Pustaka
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius


[1] Istilah ini merupakan istilah yang berasal dari Imanuel Kant yang mengacu pada suatu yang harus dipenuhi lebih dulu agar suatu bentuk pengetahuan sahih.

RUANG LINGKUP HERMENEUTIKA



Ruang Lingkup Hermeunitika
            Hermeunitika dalam sejarah pertumbuhannya mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan persepsi dan model pemakaiannya, sehingga muncul keragaman pendefinisian dan pemahaman terhadap hermeunitika itu sendiri. Gambaran perkembangan pengertian dan pendefinisian tersebut oleh Richard E.Palmer dalam Hamidi (2007: 82-85) dibagi dalam enam kategori hermeunitika sebagai berikut :
a)      Hermeunitika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
Terminologi hermeunitika dalam pengertian ini pertama kali dimunculkan sekitar abad 17-an oleh J.C Dannhauer. Meskipun sebenarnya kegiatan penafsiran dan pembicaraan tentang teori-teori penafsiran, baik itu terhadap kitab suci, sastra maupun dalam bidang hukum, sudah berlangsung sejak lama. Misalnya dalam agama Yahudi, tafsir terhadap teks-teks Taurat telah dilakukan oleh para Ahli Kitab. Dalam tradisi Kristen, juga pernah terjadi dua macam penafsiran terhadap kitab sucinya, yaitu penafsiran harfiah yang dianut oleh mazhab Anthiokia dan penafsiran simbolik yang banyak digunakan oleh Mazhab Alexandria. Demikian juga dalam Islam, ilmu tafsir (hermeunitika Al-Qur’an) dipakai sebagai upaya untuk memahami kandungan Al-Qur’an, sehingga muncul beraneka macam metode tafsir. Hermeunitika Al-Qur’an dalam perspektif ini dijadikan sebagai sebuah teori tafsir untuk mengungkapkan makna “tersembunyi” di balik teks atau kitab suci.
b)      Hermeunitika sebagai Metode Filologi
Dalam laju perkembangannya, hermeunitika mengalami perubahan dalam memperlakukan teks. Perkembangan ini merambat sejalan dengan perkembangan rasionalisme dan filologi pada abad pencerahan. Dalam wilayah ini, sekalipun suatu teks berasal dari kitab suci, harus juga diperlakukan sebagaimana teks-teks buku lainnya. Semua teks dipandang sama-sama memiliki keterkaitan dengan sejarah ketika teks itu muncul. Itu artinya, metode hermeunitika sebagai penafsiran kitab suci mulai bersentuhan dengan teori-teori penafsiran sekuler seperti filologi. Sumbangan yang berarti dalam memperkaya pengertian hermeunitika ini berasal dari seorang teolog modern yang bernama Rudolf Bultman dengan konsep penafsiran demitologisasinya dan Wilhelm Dilthey dengan konsep historical understandingnya. Demikian pula terjadi di kalangan pemaharu muslim, seperti Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves.
c)      Hermeunitika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Hermeunitika linguistik sebagai kelanjutan dari hermeunitika filologis, ia telah melangkah lebih jauh di balik teks. Hermeunitika jenis ini menyatakan bahwasanya sebuah teks yang dihadapi tidak sama sekali asing dan tidak sepenuhnya biasa bagi seorang penafsir. Keasingan suatu teks di sini diatasi dengan mencoba membuat rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin pengarangnya dan berempati dengannya. Dengan kata lain harus juga dilakukan penafsiran psikologis atas teks itu sehingga dapat mereproduksi pengalaman sang pengarang.
d)     Hermeunitika sebagai Fondasi Metodologis dari geiteswissenschaften
Dalam perkembangannya, hermeunitika dalam perspektif ini dijadikan sebagai metode untuk memperoleh makna kehidupan manusia secara menyeluruh, sehingga garapan kerjanya tidak semata-mata interpretasi teks saja, tetapi berusaha memperoleh makna kehidupan dari semua bentuk sinyal dan simbol, praktik sosial, kejadian-kejadian sejarah dan termasuk juga karya-karya seni. Menurut Dilthey, suatu peristiwa sejarah itu dapat dipahami dengan tiga proses. Pertama, memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku aksi. Kedua, memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah. Ketiga, menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarawan yang bersangkutan hidup.
e)      Hermeunitika sebagai Fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial
Hermeunitika sebagai “hermeunitika dasein” merupakan hermeunitika yang tidak terkait dengan ilmu atau peraturan interpretasi teks dan juga tidak terjait dengan metodologi bagi ilmu sejarah (humaniora), tetapi terkait dengan pengungkapan fenomologis dari cara beradanya manusia itu sendiri. Pada intinya menurut Edmund Husserl mengatakan bahwa pemahaman dan penafsiran adalah bentuk-bentuk eksistensi manusia.
f)       Hermeunitika sebagai Sistem Penafsiran
Setelah hermeunitika mengalami beragam pendefinisian di tangan beberapa tokoh, dari mulai pengertian sebagai teori penafsiran konvensional sampai merupakan bagian dari metode filsafat, kemudian muncullah seorang tokoh bernama Paul Ricoeur yang menari kembali diskursus hermeunitika ke dalam kegiatan penafsiran dan pemahaman teks. Lebih lanjut dia mengatakan, hermeunitika adalah teori mengenai aturan-aturan penafsiran yaitu penafsiran terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda atau simbol yang dianggap teks. Hermeunitika juga bertujuan untuk menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya. Hermeunitika membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaragaman makna dari simbol-simbol. Langkah pemahaman Hermeunitika menurut Ricoeur ada tiga langkah yakni Pertama, langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua, pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Ketiga, langkah filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
2.2 Penerapan Hermeunitika
Sebagai ilmu yang memahami sebuah teks, hermeneutika mempunyai tingkat fleksibilitas yang tinggi. Ia dapat diterapkan di sejumlah ilmu-ilmu kemanusiaan. Pengalaman kehidupan manusia menyimpan banyak pelajaran tentang kehidupan. Pengalaman masa lalu manusia seringkali tidak selalu sama dengan apa yang terjadi saat ini. Pengungkapan pengalaman manusia di masa lalu selalu asing bagi pembaca berikutnya. Disinilah perlu adanya penafsiran secara benar pengalaman itu. Pengalaman manusia tidak hanya berada dalam satu ruang lingkup saja. Pengalaman manusia inilah yang telah mengajarkan ilmu-ilmu kemanusiaan. Agar kita dapat belajar dan memahami tentang pengalaman-pengalaman manusia masa lampai yang berguna bagi kelangsungan kehidupan manusia maka ilmu-ilmu kemanusiaan itu sangat memerlukan hermeunitika (Dilthey dalam Subiyantoro, 2006: 80).
Hermeneutika sebagai proses penafsiran sudah berlangsung sejak dahulu, namun hermeneutika sebagai istilah baru dikenal di seputar abad ketujuh belas. Disiplin ilmu yang kerap kali menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir kitab suci. Semua karya yang berasal dari sebuha wahyu illahi seperti Al-Qur’an, Injil, Taurat, Veda agar dapat dimengerti oleh umatnya memerlukan hermeneutika untuk menafsirkannya. Tanpa adanya upaya penafsiran, maka sebuah prasasti yang ada hanyalah sebuah batu dengan tulisan kuno yang tidak bermakna sama sekali bagi orang yang melihatnya kecuali sekedar kekagumannya terhadap prasasti tersebut.
Menurut Sumaryono dalam Subiyantoro (2006: 80) menyatakan bahwa pentingnya hermeneutika dalam ilmu sejarah adalah memberikan penafsiran terhadap produk sejarah yang telah ditunjukkan lewat sebuah prasasti. Dengan hermeneutika orang akan tahu bagaimana sebenarnya sejarah tentang kehidupan kerajaan masa lampau dan makna apa yang diperoleh dari sejarah melalui prasasti. Tidak hanya dalam ilmu agama dan sejarah, hermeneutika juga dapat berguna dalam hukum dan seni.
Kunci dari sebuah hermeneutika adalah bahasa. Karena melalui bahasa kita dapat berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pun kita juga bisa salah paham atau salah tafsir. Pengertian dan penafsiran yang diperoleh sangatlah tergantung dari banyaknya faktor yang ada yakni mengenai siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.
Hermeneutika yang merupakan ilmu penafsiran terhadap sesuatu mempunyai pola kerja yakni sebagai pemberi potensi nilai terhadap suatu obyek. Maksudnya disini ialah, sebelum kita menafsirkan sebuah obyek maka kita harus lebih dahulu mengerti dan memahami. Memang pada kenyataannya untuk mengerti lebih dahulu dan tidak dapat menentukan pada indikator-indikator tertentu atau waktu-waktu tertentu. Mengerti seringkali terjadi begitu saja secara alamiah. Bisa jadi seseorang menjadi mengerti setelah penafsiran atau sebaliknya, mengerti dahulu setelah itu baru muncul penfasiran. Inilah yang disebut dengan “lingkaran hermeneutika” (Sumaryono dalam Subiyantoro, 2006:82).
Kegiatan penafsiran adalah proses yang bersifat triadik (mempunyai tiga segi yang saling berhubungan). Dalam hal ini seseorang yang melakukan penafsiran hendaknya dua harus mengenal pesan atau teks yang ada, lalu setelah itu ia harus meresapi isi teks yang ada sehingga seorang penafsir tersebut seolah-olah bisa berada dalam keadaan dimana teks tersebut berada. Dengan begitu maka penafsir bisa memahami secara sungguh-sungguh terhadap suatu pengetahuan yang akan ditafsirkan tersebut dengan benar. Seorang penafsir, tidak boleh bersifat pasif, ia harus melakukan suatu proses rekontruksi makna. Rekontruksi makna merupakan suatu proses pemahaman yang kita peroleh melalui proses menghubungkan semua bagian yang ada dalam suatu obyek yang diteliti. Semua detail yang ada harus diperhatikan karena apabila hal tersebut diabaikan maka tidak akan tercipta suatu rekonstruksi yang menyeluruh. Dari keseluruhan proses yang dipaparkan diatas itulah yang kemudian dikenal dengan metode hermeneutika yaitu suatu proses memahami makna (Schleiermacher dalam Subiyantoro, 2006: 83).
Dari beberapa hal diatas dapat pula diketahui bahwa cara kerja hermeneutika adalah mengenai penegasan makna otentik yang ingin dicapai selalu dilihat dalam konteks ruang dan waktu. Memahami makna objek yang diluar konteks akan mendapat sebuah makna yang kita lihat adalah pemahaman makna semu. Keautentikan makna hanya bisa dimengerti dan dipahami dalam ruang dan waktu yang persis tepat dimana ia berada. Artinya, setiap makna selalu tersituasikan dan hanya benar-benar dapat dipahami dalam situasinya. Pemahaman makna yang tidak autentik adalah makna yang dikontrol situasi. Jadi inti dari pekerjaan hermeneutika adalah untuk mengmbalikan pada pengalaman orisinil dari para penulis (teks) dengan maksud untuk menemukan “kunci” makna kata-kata atau ungkapan pada konteks saat ini. Dalam mengkaji sebuah teks yang ada dengan Hermeneutika kita tidak bisa lepas dari dua hal yang sangat berpengaruh yakni mengenai subyektivitas teks dan subyektivitas penafsir. Untuk lebih jelasnya akan dibahas sebagai berikut :
1.      Subyektivitas Teks
Teks dalam arti yang lebih luas tidak hanya sebatas pada pengertian tulisan. Para ahli Sejarah mulai memperkenalkan begaimana memahami sejarah dengan tidak hanya dilakukan sebuah teks tertulis. Teks lisan mempunyai otentisitas yang lebih dari teks tertulis (Guan dalam Subiyantoro, 2006:83). Teks disini mengalami perluasan makna. Kata-kata yang akhirnya kita tulis adalah sebuah teks tulis, maka untuk memahami makna dari apa yang dituliskan berarti kita sedang mencari makna dari teks tulis. Memahami teks juga dapat dilakukan dalam bentuk lain yakni dengan cara memahami teks secara lisan. Sebuah rekaman wawancara dapat digunakan ketika ingin memahami makna dari wawancara itu, maka hasil pemahaman itu berasal dari teks yang terkandung dari hasil wawancara yaitu teks lisan.
Menurut Subiyantoro (2006:85) menyatakan bahwa teks juga merupakan relalitas sosial yang mengalami fiksasi atau pemantapan. Oleh karena itu, menafsirkan atau menganalisis teks tidak lain adalah kegiatan menganalisis atau menafsirkan suatu realitas sosial yang telah diinterpretasikan ke dalam teks. Teks sendiri dalam studi ini merupakan suatu ekspresi wacana lisan. Teks sebagai realitas sosial mempunyai arti bahwa kehadiran teks itu tidak berdiri sendiri. Ia hadir dalam apa pun bentuknya tidak terlepas peristiwa apa yang menghadirkannya.
Seperti sebuah prasyarat bahwa kebutuhan subyektifitas teks ini sangat memegang peranan dalam studi hermeneutika. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Robinson menyatakan bahwa “suatu hermeneutika yang diterima pada dasarnya adalah titik awal yang dipilih secara sadar dan berisikan komponen ideologis, sikap, metodologis yang dirancang untuk membantu usaha interpretasi dan memudahkan pemahaman yang maksimal (Esack dalam Subiyantoro, 2006:86). Hal ini disampaikan karena hermeneutika tidak hanya membutuhkan penafsiran teks secara tunggal tetapi hermeneutika membutuhkan pula penafsiran yang terkait dengan terbentuknya teks tersebut seperti ideologi, sikap, moral, religiusitas dan sebagainya.

FILSAFAT SEJARAH TIMUR



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita kadang hanya lewat dan mengalir begitu saja, tanpa ada upaya untuk melakukan suatu langkah reflektif sehingga peristiwa tersebut menjadi tidak bermakna. Seharusnya, manusia dapat berupaya untuk memberikan atau menerapkan suatu makna kepada sejarah, hanya dengan demikian perbuatan manusia dapat disusun secara kait-mengkait dan dapat diarahkan ke hari depan (Misnal Munir, 1997; 126). Manusia mempunyai kewajiban etis untuk membuat gambaran hari depan sehingga sejarah mempunyai makna. Hal ini ditegaskan oleh Ankersmit (1987: 372) bahwa makna sejarah terletak pada kemampuan manusia secara bebas dan dengan kesadaran penuh mengenai tanggung jawab etis dalam memilih. Bagaimana wajah hari depan itu, serta bagaimana manusia secara optimal dapat memberi makna dan isi kepada sejarah itu. Sedang bagi Sartono Kartodirdjo (1900; 204-205) sejarah mempunyai fungsionalitas, artinya sejarah tidak hanya mempunyai makna dokumenter, tetapi juga mengandung makna apresiasif, yaitu mewujudkan kesadaran kolektif. Pengalaman sebagai pengendapan hasil proses kebudayaan berupa suatu subjektifitas hasil internalisasi subjek, sedangkan yang berupa objektifitas merupakan hasil eksternalisasi. Objektifitas terus-menerus akan menghasilkan pengalaman kolektif.
Sejarah mengandung beberapa aspek. Kees Bertens dalam bukunya “Panorama Filsafat Barat Modern (1987; 193-198) ” menyatakan sekurang-kurangnya ada empat aspek yang terdapat dalam sejarah. Pertama, sejarah manusia hanya dapat berlangsung dalam perkembangan yang harmonis antara unsur spiritualitas dan materialitas. Kedua, sejarah dapat berlanjut jika manusia bebas dalam merealisasikan diri. Ketiga, sejarah selalu berkaitan dengan waktu atau temporalitas yang selalu kontinu. Keempat, sejarah hanya dapat terjadi jika manusia berkarya bersama dengan manusia lain.
Dalam tulisan ini penulis ingin mencoba menggali tema filsafat sejarah Confucius, karena dalam pemikiran Confucius hal ini belum terungkap dengan jelas, sehingga yang akan dicoba di sini adalah sebuah penggalian filsafat tersembunyi dari pemikiran Confucius. Sebagai sebuah penelitian kepustakaan maka langkah-langkah yang dilakukan adalah mulai dari mengumpulkan data yang terkait dengan tema, kemudian menyusun, dan memberikan analisa kritis. Dalam penulisannya, karya ini banyak mengacu pada penelitian Drs. Budisutrisna, M.Hum yang berjudul “Historisitas dalam pandangan Confucius”.
Berbicara mengenai Confucius, dia termasuk orang yang menginginkan agar akal budi mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam kehidupan sosial. Dalam kerangka pemahaman kesejarahan ia pun mempelajari sejarah dan menginterpretasikannya untuk menemukan hukum-hukum perkembangannya. Dalam kenyataannya ia tetap melestarikan apa yang dipandang baik dalam kebudayaan masa lampau, tapi juga menciptakan suatu kebudayan baru yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi. Pemikiran Confucius lebih banyak membahas manusia sebagai individu sekaligus sebagai makhluk social. Hal ini berbeda dengan aliran besar lainnya, yakni Taoisme yang cenderung menyoroti hubungan manusia dengan alam. Kehidupan Confucius sendiri sudah pasti merupakan contoh yang baik bagi ajarannya. Ia mempunyai obsesi besar untuk mengubah dunia (Fung Yu Lan, 1990: 57). Mengenai profil dari sosok Confucius kiranya tidak begitu perlu diangkat di sini karena tokoh ini sudah cukup terkenal dalam dunia pemikiran timur, khususnya Tiongkok.
Berdasarkan uraian di atas, terlhat bahwa filsafat Cina mempunyai karakteristik yang berbeda dengan filsafat timur lainnya. untuk itu kami sekelompok ingin mengetahui bagaimana filsafat sejarah dalam pemikiran Konfusius dengan judul makalah “Filsafat Sejarah Dalam Pemikiran Confusius”.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah konsep filsafat sejarah timur?
2.      Bagaimanakah filsafat sejarah dalam pemikiran Konfusius?

C.      Tujuan
1.      Menjelaskan bagaimana konsep filsafat sejarah timur.
2.      Menjelaskan bagaimana filsafat sejarah dalam pemikiran Konfusius.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Konsep Filsafat Sejarah Timur
Filsafat Timur merupakan sebutan bagi pemikiran-pemikiran yang berasal dari dunia timur atau Asia, seperti Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang, Filsafat Islam, Filsafat Buddhisme dan sebagainya. Masing-masing jenis filsafat merupakan suatu sistem-sistem pemikiran yang luas dan plural. Misalnya saja, filsafat India dapat terbagi menjadi filsafat Hindu dan Filsafat Buddhisme, sedangkan filsafat Cina dapat terbagi menjadi Konfusianisme dan Taoisme.
Filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat Barat, yang mana ciri-ciri agama terdapat juga di dalam filsafat Timur, sehingga banyak ahli berdebat mengenai dapat atau tidaknya pemikiran Timur dikatakan sebagai filsafat. Pemikiran Timur, sering dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis dan tidak kritis (Bagus Takwin, 2009:13). Pemikiran-pemikiran tersebut lebih dianggap sebagai kepercayaan religius atau agama dari pada filsafat, karena dianggap tidak rasional, tidak sistematis dan tidak kritis. Selain itu, pemikiran Timur seringkali diterima begitu saja oleh para penganutnya tanpa suatu kajian kritis; mereka hanya menafsirkan, berupaya memahami, dan kemudian mengamalkannya. Meskipun keduanya antara Agama dan Filsafat bertujuan menemukan kebenaran, keduanya memiliki perbedaan mendasar. Agama mengajarkan kepatuhan, filsafat mengandalkan kemampuan berfikir kritis yang sering tampil dalam perilaku meragukan. Akan tetapi, sebenarnya hal itu tidak bisa menjadi kriteria untuk menentukan pemikiran Timur digolongkan sebagai filsafat atau tidak, sebab seringkali kategorisasi 'filsafat' dan bukan 'filsafat' ditentukan oleh 'Barat' yang memaksakan kriteria-kriterianya terhadap 'Timur'.
Definisi menurut asal kata filsafat adalah cinta kepada kebenaran (Bagus Takwin, 2009:19). Dilihat dari definisi filsafat, sebenarnya pemikiran Timur dapat dikategorikan sebagai filsafat, sejauh filsafat Timur merupakan usaha manusia untuk memperoleh kebenaran, yang didasarkan pada rasa cinta akan kebenaran itu sendiri. Pemikiran-pemikiran Timur banyak yang memiliki kedalaman, bersifat analitis, dan kritis, bahkan melebihi pemikiran Barat, misalnya seperti KonfusiusLao Tzu, dan Siddharta Gautama. 
Pengetahuan akan kebenaran selalu berkaitan dengan kebijaksanaan dan mengandung dua unsur, yakni pengetahuan akan kebaikan tertinggu dan tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi. Pengetahuan dan tindakan haruslah hadir di dalam diri seorang yang bijaksana. Kedua hal ini ada di dalam pemikiran sejumlah pemikir Timur seperti Lao Tzu, Konfusius, Siddharta Gautama, para filsuf Hindu, dan para filsuf Islam, sehingga pemikiran mereka dapat disebut filsafat Timur.
Dalam pemikiran Barat konvensional, pengertian sistematis, radikal dan kritis seringkali merujuk pada satu pengertian yang ketat. Setiap kriteria dibuat sedemikian sempitnya sehingga menutup kemungkinan masuknya berbagai pemikiran lain (bagus Takwin, 2009:20). Dengan kata lain, pernyataan itu dapat diuji dengan menggunakan logika Barat.
Padahal kalau kita melihat sejarah filsafat, pengertian filsafat tidak sesempit dan seketat yang dikemukakan oleh Barat, bahwa masing-masing kriteria memiliki kemungkinan yang luas dari sekedar yang diajukan para filsuf empirik, positivistik dan filsafat analitik. Pembatasan kaum empiris, posiivistic dan filsafat analitik terkesan membekukan satu kriteria kebenaran dan menutup kriteria kebenaran lain.
Jika kita ingin membedakan antara filsafat dan agama, merujuk pada buku Bagus Takwim, maka jawaban paling sering ditemukan adalah: filsafat diperoleh melalui aktivitas berfikir atau aktivitas rasional sedangkan agama diperoleh melalui aktivitas irasional. Sifat rasional dan filsafat mengindikasikan bahwa pengetahuan-pengetahuan yang terangkum di dalamnya merupakan hasil dari kegiatan berfikir manusia.
Filsafat memanfaatkan sepenuhnya kemampuan berfikir manusia untuk memahami segala perwujudan kenyataan. Filsafat menghindari sumber-sumber pengetahuan selain kegiatan berpikir. Dalam filsafat, kegiatan berpikir yang dilakukan bersifat reflektif dan caranya bersifat spekulatif dalam arti materi-materi yang dijadikan objek berpikir hanya berupa konsep.
Berbeda dengan filsafat, agama tidak hanya menggunakan kegiatan berpikir manusia. Agama juga melibatkan sumber pengetahuan lain berupa wahyu, baik wahyu yang dipercaya diturunkan langsung oleh Tuhan maupun dari tanda-tanda keagungan Tuhan yang tersebar di alam semesta. Dalam agama, wahyu adalah pelengkap pengetahuan manusia.
Berbeda dengan filsafat Barat, pemikiran Timur tidak menampilkan sistematika yang biasa dipakai dalam filsafat Barat, seperti pembagian bidang kajian filsafat menjadi epistimologi, metafisika dan aksiologi. Selain itu pemikiran Timur sering kali diterima begitu saja oleh penganutnya tanpa satu kajian kritis terlebih dahulu, sehingga banyak pemikir filsafat yang mengklaim pemikiran Timur sebagai agama. Filsafat Timur lebih sering menafsirkan, berusaha memahaminya dan kemudian mengamalkannya. Disini terkesan pemikiran Timur hanya seperangkat tuntutan praktis untuk menjalani hidup atau sebagai serangkaian aturan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan.
Sampai disini terlihat bahwa alasan pemikiran Timur bukanlah filsafat karena tidak memiliki sistematika yang harus dimiliki filsafat tidak relevan lagi. Pemikiran Timur bisa jadi merupakan suatu bentuk filsafat meski tanpa sistematika seperti yang ditampilkan filsafat Barat. Maka, Pemikiran Timur adalah proses dan hasil usaha manusia untuk memperoleh kebenaran yang didasari rasa cinta mereka kepada kebenaran. Pendeknya, sebuah pemikiran yang berusaha untuk mendapatkan kebenaran dan didasari oleh kecintaannya pada kebenaran dapat disebut filsafat.
Mengutip dari buku Bagus Takwin dalam pendapat Fung Yu Lan, dikemukakan socrates yang kemudian dikutip oleh Plato dalam Phaedrus: “ ... Orang-orang yang gagasan dan pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran dan dapat mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat patut disebut filsuf. Mereka adalah pecinta kebijaksanaan. “
Dengan dasar ini pemikiran-pemikiran Timur seperti Confucius, Lao ze, dan Sidharta Gautama layak disebut filusuf. Dengan demikian buah pemikirannya dapat digolongkan sebagai pemikiran sebagai pemikiran filosofiss. Untuk mempertegas kehadirannya sebagai filsafat, belakangan pengkajian pemikiran Timur menyertakan juga pemenuhan kriteria-kriteria yang umumnya diterapkan pada filsafat. Perkembangan pemikiran filsafat membutuhkan adanya dialog, diskusi adu argumentasi dan membuka diri terhadap berbagai pemikiran.
Dengan mendasarkan pengertian-pengertian itu, pemikiran Timur seperti Hinduisme, Budhisme, Daonisme, Budhisme Chan,  Tao Tze, Confucius dan pemikiran Islam dapat disebut sebagai Filsafat dan menjadi bagian dari Filsafat Timur. Sebuah ciri khas dari filsafat timur adalah kedekatannya hubungan filsafat dengan agama. Filsafat timur ini sebenarnya tidak hanya di pandang filsafat agama juga, tetapi termasuk falsafah hidup. Filsafat Cina adalah salah satu dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar dari tiga filsafat dasar yang mempengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia, disamping filsafat India dan filsafat Barat. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa.
Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem yaitu antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi. Suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian pada perikemanusiaan, pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusia  yang selalu merupakan pusat filsafat Cina. Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa semua dikuasai oleh suatu nasib buta yang sering disebut Moira, dan ketika kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan nasibnya dan tujuannya.
Filsafat Cina cendrung mengutamakan pemikiran praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain, cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia. Para ahli sejarah pemikiran mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat kecenderungan tersebut, Pertama, dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat dalam tradisi filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai persoalan yang muncul dari kehidupan yang aktual.
Kedua, secara umum filsafat Cina bertolak dari semacam  humanisme. Tekanannya pada persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian besar filosof Cina. Lalu yang ketiga, dalam pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah kerohanian) menyatu secara padu. Etika dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
Keempat, meskipun menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun demikian secara umum filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat secara bijak dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.
Kelima, filsafat Cina secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih. Keenam, agama dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan pada leluhur.
Ketujuh, penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang abstrak dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai. Kedelapan, dilihat dari sudut pandang intelektual, Para filosof  Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina seperti mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu. Demikianlah pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai sasaran apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan integratitas pribadi yang kokoh.

2.2    Filsafat Sejarah Dalam Pemikiran Konfusius
2.2.1.      Pandangan Confucius Tentang Hubungan Sejarah dengan Manusia.
Manusia dan Sejarah Manusia membentuk serta menghasilkan sejarah dan bersamaan dengan itu ia dibentuk dan dipengaruhi oleh sejarah (Bertens, 1987; 200). Oleh sebab itu pada hakikatnya semua permasalahan berkisar sekitar faktor manusiawi, tidak hanya sebagai unsur objektif, lebih dari itu juga selaku unsur objektif (Sartono Kartodirdjo, 1990; 252). Dengan demikian jelas bahwa manusia merupakan faktor utama dalam pembahasan sejarah. Sedang dalam diri manusia secara hakiki terdapat unsur spiritualitas dan unsur materialitas atau secara gampang dapat dikatakan bahwa hakikat manusia terdiri dari jiwa (rohani) dan raga/badan (lahir). Dan secara implicit Confucius mengakui adanya unsur spiritualitas dan materialitas yang ada dalam diri manusia. Menurut Confucius semua tindakan yang menyangkut unsur materialitas atau keragaan manusia akan sia-sia jika tidak didasari oleh unsur spiritualitas. Unsur spiritualitas ini diantaranya adalah Jen . Jen dapat diartikan sebagai perikemanusiaan. Perikemanusiaan ini mengandung dua segi, yaitu Chung (segi positif) dan Shu (segi negatif). Chung terlihat dalam ungkapan “Apa yang engkau senangi dilakukan orang terhadapamu, lakukanlah terhadap orang lain”. Segi Shu mengajarkan “Apa yang tidak kau sukai dilakukan orang terhadapamu, jangan kau lakukan terhadap orang lain” (Creel, 1951; 34). Unsur spiritualitas yang lain dalam diri manusia selain Jen yang harus diwujudkan dalam tindakan yang mempertahankan unsur materialitas adalah: Yi (kelayakan), Li (etiket atau sopan santun). Chih (kebijaksanaan). Manusia dalam menghayati historisitas atau kesejarahannya tidak hanya mementingkan aspek materialitasnya saja, akan tetapi selalu diimbangi dengan perkembangan spiritualitasnya. Aspek materialitas yang terlihat nyata dalam berbagai tindakan manusia haruslah selalu mencerminkan perkembangan berbagai aspek spiritualitas manusia tersebut (Budisutrisna, 1998: 26-27).
Perbuatan manusia sebagai aspek materialitas harus selalu mendasarkan diri pada aspek spiritualitas. Dalam perkembangan kebudayaan manusia diarahkan kepada Chun Tzu (manusia unggul), sejarah tidak pernah dibuat oleh manusia secara sendirian, akan tetapi selalu dalam kebersamaan kelompok. Dalam hal ini Confucius lima hubungan social dalam kebersamaan kelompok itu, yakni: hubungan antara penguasa dengan warganya, hubungan antara suami dengan istri, antara ayah dengan anak, antara kakak dan adik, dan antara sesama teman. Lima hubungan ini sering dikenal dengan konsep Wu Lun . Untuk mewujudkan manusia-manusia Chun Tzu yang akan membuat tingginya kebudayaan manusia, peranan individu tetap diakui tetapi tidak dapat dilepaskan dari peranan kebersamaan kelompok tersebut. Hanya manusia-manusia yang berhasil membuat keterkaitan harmonis aspek materialitas dan spiritualitas dalam kebersamaan kelompoklah yang akan mencapai Chun Tzu , yang pada akhirnya akan memajukan kebudayaan manusia. Sejarah digerakkan oleh manusianya. Namun demikian Confucius mengakui bahwa keberhasilan usaha manusia tidak terlepas dari Ming , keputusan alam ketuhanan. Usaha manusia tidak terlepas dari peranan Tuhan. (Budisutrisna, 1998: 27-28)
2.2.2.   Pandangan Confucius tentang Hubungan Sejarah dengan Waktu.
Eksistensi manusia menurut kodratnya mempunyai struktur temporal. Sejarah perkembangan manusia selalu terkait dengan tiga dimensi kesejarahan, yakni: dimensi masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Dari tiga dimensi tersebut hanya masa sekarang (kini) yang sungguh-sungguh real, berarti masa lampau terangkum dalam masa sekarang, dan masa depan menjadi proyeksi masa kini (Misnal Munir, 1997: 139).
Pandangan Confucius tentang waktu menunjukkan adanya interpretasi terhadap sejarah di masa lampau serta bagaimana sejarah dibentuk pada masa depan. Dalam hal ini peninggalan tradisi dan budaya di masa lampau diinterpretasikannya, missal: Li yang semula berarti tata upacara berkorban kemudian diberi arti sebagai etiket atau sopan santun; Tao yang semula berarti jalan kemudian diberi arti sebagai kode etik individu dan pola pemerintahan; Chun Tzu yang semula berarti orang keturunan bangsawan kemudian diberi arti manusia unggul atau gentle man . Jadi terhadap kebudayaan masa lampau, Confucius tidak membuanganya tetapi diambil semangatnya, intinya, yaitu aspek spiritualitasnya – menurut Confucius esensi kebudayaan adalah Jen. Masa sekarang, bagi Confucius tergambar dalam pendidikan sebagai strategi kebudayaan. Dalam bidang pendidikan ia merasa bahwa fungsi utamanya memberi tafsiran terhadap warisan masa lampau, juga memberikan tafsiran baru terhadapanya yang didasarkan atas konsepsi-konsepsi moral (Fung Yu Lan, 1990, 51). Perkembangan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masa sekarang tanpa meninggalkan identitas yang sudah dimiliki di masa lampau yang tersimpul dalam Jen sebagai esensi dari setiap kebudayaan. Jen ini juga selalu terkait dengan Yi, Li, dan Chih. Kemudian masa depan tergambar dalam cita-cita manusia ideal Chun Tzu yang akan dapat menciptakan kebudayaan yang unggul pula. Bagi Confucius untuk merencanakan dan merekayasa masa depan melalui strategi kebudayaannya peranan pendidikan sekali lagi amat penting – seperti sudah disebutkan. Hal lain yang turut memacu terwujudnya masa depan, seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya adalah kebijakan penggunaan bahasa yang tepat, termasuk menyatunya antara perkataan dan perbuatan (Budisutrisna, 1998: 28-29)
2.2.3.  Pandangan Confucius tentang Arah Sejarah
Manusia di dalam hidupnya mengejar kebahagiaan spiritual dan kesejahteraan material (R. Sujadi dkk, 1986; 22). Secara implisit sesungguhnya Confucius mempunyai pandangan mengenai arah perkembangan sejarah yang mencakup baik aspek materialitas maupun spiritualitas.
Titik pusat perhatian Confucius diarahkan pada usaha untuk memperbaiki keadaan masyarakat yang kacau menjadi masyarakat yang lebih beradab. Hal ini dapat terwujud jika manusia mencapai Chun Tzu . Dalam Chun Tzu ini tersimpul perkembangan aspek materialitas dan spiritualitas, dalam artian tindakan-tindakan manusia mendasarkan diri pada aspek: Jen , Y i, Li , dan Chih untuk selalu mewujudkannya. Untuk mewujudkannya itu dicapai dalam kebersamaan masyarakat ( lima hubungan sosial) dan pada akhirnya hasilnya diserahkan kepada Ming . Sesudah manusia berusaha, berhasil atau tidaknya diserahkan kepada keputusan Tuhan. Dengan demikian arah perkembangan sejarah tidak hanya mementingkan dimensi horizontal, akan tetapi juga mengutamakan dimensi vertical.
Arah perkembangan sejarah menghendaki keselarasan hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan Tuhannya. Chun Tzu merupakan sosok manusia yang layak didambakan oleh setiap insane, sosok manusia unggul, termasuk unggul dengan dirinya sendiri dibanding dengan masa lampau. Jika suatu hari dapat memperbaharui terus-menerus dan dijaga agar baru selama-lamanya. Bagi Confucius taraf kebudayaan manusia yang tinggi yang membuahkan kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, yang dapat terwujud melalui manusia-manusia Chun Tzu bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis (selalu disesuaikan situasi – kondisi perkembangan jaman, dalam hal ini Confucius selalu menginterpretasikan masa lampau secara baru). Dengan demikian arah sejarah bukanlah bukanlah sesuatu yang sudah selesai, berhenti, tetapi sesuatu yang terus menerus menjadi disesuaikan dengan jamannya. (Budisutrisna, 1998: 29-30).
2.2.4.   Evaluasi Kritis Tentang Kedudukan Tuhan dalam Filsafat Sejarah Confucius.
Pemikiran Confucius sebagai salah satu dari sekian banyak pemikiran Tiongkok tentunya memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda. Dalam karakteristik filsafat Tiongkok terdapat satu cirri pemikiran Tiongkok yaitu jauh dari hal-hal yang bersifat adi kodrati, termasuk pembahasan tentang Tuhan. Akan tetapi, apakah hal itu juga berlaku bagi pemikiran Confucius? Apakah Confucius tidak menyinggung tentang Tuhan sama sekali dalam pemikirannya? Memang Confucius tidak suka membicarakan hal-hal yang bersifat religius. Karena banyak hal yang tidak dapat dibuktikan dengan panca indera, tetapi hanya dapat dipercaya (Lasiyo, 1983; 28).
Walaupun demikian bukan berarti Confucius tidak bertuhan. Hal ini terbukti ketika pada suatu saat dicela dan tidak ada orang yang mampu mengerti tentang dia, kemudian Confucius berkata “Akan tetapi Sorga mengerti saya” (Creel, 1954; 49). Menurut Confucius ajaran-ajarannya sesungguhnya ilham dari Tuhan (Tien) dengan maksud membimbing kepada jalan kesempurnaan (Tao).
Dalam pandangan Confucius kedudukan Tuhan memainkan peranan sentral dalam seluruh aspek kehidupan, hanya saja ia tidak mau untuk membicarakan secara panjang lebar. Bahkan dia pernah berkata kepada muridnya, “Kau belum mengetahui kehidupan bagaimana kau hendak mengetahui kematian”. Manusia menurut Confucius dalam menentukan perkembangan hidupnya bertumpu pada usahanya dan kemampuannya yang disandarkan pada Ming , keputusan alam ketuhanan. Tuhan selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia, dan menjadi penentu keberhasilan setelah berbagai usaha dilakukan. Keyakinan Confucius pada peranan Tuhan tercemin dalam ajarannya mengenai Ming . Baginya Ming berarti keputusan alam ketuhanan. Hal yang paling baik yang dikerjakan manusia ialah sekedar berusaha untuk melaksanakan apa yang diketahui seharusnya dikerjakan. Manusia seharusnya berusaha sekuat tenaga, tetapi hasilnya terserah kepada Ming (Fung Yu Lan, 1989; 29). Dengan demikian tidak berarti manusia pasrah secara pasif terhadap nasib, karena usaha dipandang penting. Ming menjadi penentu akhir perjalanan historisitas manusia (Budisutrisna,1998: 31).













BAB III
KESIMPULAN

Dalam pemikiran Confucius mengandung pemikiran tentang filsafat sejarah. Hal ini terbukti dengan adanya pandangan Confucius tentang sejarah yang menyatakan bahwa sejarah berdasarkan atas kesadaran manusia dalam memahami masa lampau dan kemampuannya dalam membuat proyeksi masa depan. Menurut Confucius sejarah sangat berkaitan dengan perkembangan manusia dalam hidupnya. Manusia dalam hidupnya tidak hanya pasif saja, tetapi juga aktif menetukan arah perkembangan sejarahnya.
Pandangannya tentang waktu menunjukkan adanya interpretasi terhadap sejarah di masa lampau serta bagaimana sejarah dibentuk pada masa depan. Dalam hal ini peninggalan tradisi dan budaya di masa lampau diinterpretasikannya
Menurut Confucius manusia Chun Tzu bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis (selalu disesuaikan situasi – kondisi perkembangan jaman, dalam hal ini Confucius selalu menginterpretasikan masa lampau secara baru). Jadi, arah sejarah bukanlah sesuatu yang sudah selesai, berhenti, tetapi sesuatu yang terus menerus menjadi disesuaikan dengan jamannya
Filsafat sejarah Confucius mempunyai dimensi ketuhanan. Manusia menurut Confucius dalam menentukan perkembangan hidupnya bertumpu pada usahanya dan kemampuannya yang disandarkan pada Ming , keputusan alam ketuhanan. Tuhan selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia, dan menjadi penentu keberhasilan setelah berbagai usaha dilakukan.








DAFTAR PUSTAKA

Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.
Bertens, K. 1987. Panorama Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.
Budisutrisna. 1998. Historisitas dalam Pandangan Confucius. Yogyakarta: Fak. Filsafat UGM.
Creel, H.G. 1989. Chinese Thought from Confucius to Mao tse-Tung , Alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana .
Fung Yu Lan. 1990. A Short History of Chinese Philosophy , Alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: Liberty.
Lasiyo. 1983. Confucius . Yogyakarta: Proyek PPPT UGM .
Misnal Munir. 1997. “Historisitas Dalam Pandangan Filosof Barat dan Pancasila” dalam Jurnal Filsafat . Edisi Khusus Agustus 1997 hal. 125-148.
Sartono Kartodirdjo. 1986. Ungkapan Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur , Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah. Jakarta: Gramedia .
_________. 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press .
Soejadi R, Koento Wibisono. 1986. ”Aliran-Aliran Filsafat dan Filsafat Pancasila” dalam Slamet Sutrisno (ed), Pancasila Sebagai Metode. Yogyakarta: Liberty.
Takwin, Bagus. 2009. Filsafat Timur: Sebuah Pengantar ke Pemikiran-pemikiran Timur. Yogyakarta: Jalasutra.