BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap peristiwa yang terjadi dalam
hidup kita kadang hanya lewat dan mengalir begitu saja, tanpa ada upaya untuk
melakukan suatu langkah reflektif sehingga peristiwa tersebut menjadi tidak
bermakna. Seharusnya, manusia dapat berupaya untuk memberikan atau menerapkan
suatu makna kepada sejarah, hanya dengan demikian perbuatan manusia dapat
disusun secara kait-mengkait dan dapat diarahkan ke hari depan (Misnal Munir,
1997; 126). Manusia mempunyai kewajiban etis untuk membuat gambaran hari depan
sehingga sejarah mempunyai makna. Hal ini ditegaskan oleh Ankersmit (1987: 372)
bahwa makna sejarah terletak pada kemampuan manusia secara bebas dan dengan
kesadaran penuh mengenai tanggung jawab etis dalam memilih. Bagaimana wajah
hari depan itu, serta bagaimana manusia secara optimal dapat memberi makna dan
isi kepada sejarah itu. Sedang bagi Sartono Kartodirdjo (1900; 204-205) sejarah
mempunyai fungsionalitas, artinya sejarah tidak hanya mempunyai makna
dokumenter, tetapi juga mengandung makna apresiasif, yaitu mewujudkan kesadaran
kolektif. Pengalaman sebagai pengendapan hasil proses kebudayaan berupa suatu
subjektifitas hasil internalisasi subjek, sedangkan yang berupa objektifitas
merupakan hasil eksternalisasi. Objektifitas terus-menerus akan menghasilkan
pengalaman kolektif.
Sejarah mengandung beberapa aspek. Kees
Bertens dalam bukunya “Panorama Filsafat Barat Modern (1987; 193-198) ”
menyatakan sekurang-kurangnya ada empat aspek yang terdapat dalam sejarah.
Pertama, sejarah manusia hanya dapat berlangsung dalam perkembangan yang
harmonis antara unsur spiritualitas dan materialitas. Kedua, sejarah dapat
berlanjut jika manusia bebas dalam merealisasikan diri. Ketiga, sejarah selalu
berkaitan dengan waktu atau temporalitas yang selalu kontinu. Keempat, sejarah
hanya dapat terjadi jika manusia berkarya bersama dengan manusia lain.
Dalam tulisan ini penulis ingin mencoba
menggali tema filsafat sejarah Confucius, karena dalam pemikiran Confucius hal
ini belum terungkap dengan jelas, sehingga yang akan dicoba di sini adalah
sebuah penggalian filsafat tersembunyi dari pemikiran Confucius. Sebagai sebuah
penelitian kepustakaan maka langkah-langkah yang dilakukan adalah mulai dari
mengumpulkan data yang terkait dengan tema, kemudian menyusun, dan memberikan
analisa kritis. Dalam penulisannya, karya ini banyak mengacu pada penelitian
Drs. Budisutrisna, M.Hum yang berjudul “Historisitas dalam pandangan
Confucius”.
Berbicara mengenai Confucius, dia
termasuk orang yang menginginkan agar akal budi mempunyai pengaruh yang lebih besar
dalam kehidupan sosial. Dalam kerangka pemahaman kesejarahan ia pun mempelajari
sejarah dan menginterpretasikannya untuk menemukan hukum-hukum perkembangannya.
Dalam kenyataannya ia tetap melestarikan apa yang dipandang baik dalam
kebudayaan masa lampau, tapi juga menciptakan suatu kebudayan baru yang sesuai
dengan perkembangan situasi dan kondisi. Pemikiran Confucius lebih banyak
membahas manusia sebagai individu sekaligus sebagai makhluk social. Hal ini
berbeda dengan aliran besar lainnya, yakni Taoisme yang cenderung menyoroti
hubungan manusia dengan alam. Kehidupan Confucius sendiri sudah pasti merupakan
contoh yang baik bagi ajarannya. Ia mempunyai obsesi besar untuk mengubah dunia
(Fung Yu Lan, 1990: 57). Mengenai profil dari sosok Confucius kiranya tidak
begitu perlu diangkat di sini karena tokoh ini sudah cukup terkenal dalam dunia
pemikiran timur, khususnya Tiongkok.
Berdasarkan
uraian di atas, terlhat bahwa filsafat Cina mempunyai karakteristik yang
berbeda dengan filsafat timur lainnya. untuk itu kami sekelompok ingin mengetahui bagaimana filsafat sejarah dalam pemikiran Konfusius dengan judul makalah “Filsafat Sejarah Dalam Pemikiran Confusius”.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
konsep filsafat sejarah timur?
2. Bagaimanakah
filsafat sejarah dalam pemikiran Konfusius?
C.
Tujuan
1. Menjelaskan
bagaimana konsep filsafat sejarah timur.
2. Menjelaskan
bagaimana filsafat sejarah dalam pemikiran Konfusius.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep
Filsafat Sejarah Timur
Filsafat Timur merupakan sebutan bagi
pemikiran-pemikiran yang berasal dari dunia timur atau Asia, seperti Filsafat
Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang, Filsafat Islam, Filsafat Buddhisme dan
sebagainya. Masing-masing jenis filsafat merupakan suatu sistem-sistem
pemikiran yang luas dan plural. Misalnya saja, filsafat India dapat terbagi
menjadi filsafat Hindu dan Filsafat Buddhisme, sedangkan filsafat Cina dapat
terbagi menjadi Konfusianisme dan Taoisme.
Filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang
berbeda dengan filsafat Barat, yang mana ciri-ciri agama terdapat juga di dalam
filsafat Timur, sehingga banyak ahli berdebat mengenai dapat atau tidaknya
pemikiran Timur dikatakan sebagai filsafat. Pemikiran Timur, sering dianggap
sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis dan tidak kritis (Bagus
Takwin, 2009:13). Pemikiran-pemikiran tersebut lebih dianggap sebagai
kepercayaan religius atau agama dari pada filsafat, karena dianggap tidak
rasional, tidak sistematis dan tidak kritis. Selain itu, pemikiran Timur
seringkali diterima begitu saja oleh para penganutnya tanpa suatu kajian
kritis; mereka hanya menafsirkan, berupaya memahami, dan kemudian
mengamalkannya. Meskipun keduanya antara Agama dan Filsafat bertujuan menemukan
kebenaran, keduanya memiliki perbedaan mendasar. Agama mengajarkan kepatuhan,
filsafat mengandalkan kemampuan berfikir kritis yang sering tampil dalam
perilaku meragukan. Akan tetapi, sebenarnya hal itu tidak bisa menjadi kriteria
untuk menentukan pemikiran Timur digolongkan sebagai filsafat atau tidak, sebab
seringkali kategorisasi 'filsafat' dan bukan 'filsafat' ditentukan oleh 'Barat'
yang memaksakan kriteria-kriterianya terhadap 'Timur'.
Definisi menurut asal kata filsafat
adalah cinta kepada kebenaran (Bagus Takwin, 2009:19). Dilihat dari definisi
filsafat, sebenarnya pemikiran Timur dapat dikategorikan sebagai filsafat,
sejauh filsafat Timur merupakan usaha manusia untuk memperoleh kebenaran, yang
didasarkan pada rasa cinta akan kebenaran itu sendiri. Pemikiran-pemikiran
Timur banyak yang memiliki kedalaman, bersifat analitis, dan kritis, bahkan
melebihi pemikiran Barat, misalnya seperti Konfusius, Lao Tzu,
dan Siddharta Gautama.
Pengetahuan akan kebenaran selalu
berkaitan dengan kebijaksanaan dan mengandung dua unsur, yakni pengetahuan akan
kebaikan tertinggu dan tindakan untuk mencapai kebaikan
tertinggi. Pengetahuan dan tindakan haruslah hadir di dalam diri seorang
yang bijaksana. Kedua hal ini ada di dalam pemikiran sejumlah pemikir
Timur seperti Lao Tzu, Konfusius, Siddharta Gautama, para filsuf Hindu, dan para
filsuf Islam, sehingga pemikiran mereka dapat disebut filsafat Timur.
Dalam pemikiran Barat konvensional,
pengertian sistematis, radikal dan kritis seringkali merujuk pada satu
pengertian yang ketat. Setiap kriteria dibuat sedemikian sempitnya sehingga menutup
kemungkinan masuknya berbagai pemikiran lain (bagus Takwin, 2009:20). Dengan
kata lain, pernyataan itu dapat diuji dengan menggunakan logika Barat.
Padahal kalau kita melihat sejarah
filsafat, pengertian filsafat tidak sesempit dan seketat yang dikemukakan oleh
Barat, bahwa masing-masing kriteria memiliki kemungkinan yang luas dari sekedar
yang diajukan para filsuf empirik, positivistik dan filsafat analitik.
Pembatasan kaum empiris, posiivistic dan filsafat analitik terkesan membekukan
satu kriteria kebenaran dan menutup kriteria kebenaran lain.
Jika kita ingin membedakan antara
filsafat dan agama, merujuk pada buku Bagus Takwim, maka jawaban paling sering
ditemukan adalah: filsafat diperoleh melalui aktivitas berfikir atau aktivitas
rasional sedangkan agama diperoleh melalui aktivitas irasional. Sifat rasional
dan filsafat mengindikasikan bahwa pengetahuan-pengetahuan yang terangkum di
dalamnya merupakan hasil dari kegiatan berfikir manusia.
Filsafat memanfaatkan sepenuhnya
kemampuan berfikir manusia untuk memahami segala perwujudan kenyataan. Filsafat
menghindari sumber-sumber pengetahuan selain kegiatan berpikir. Dalam filsafat,
kegiatan berpikir yang dilakukan bersifat reflektif dan caranya bersifat
spekulatif dalam arti materi-materi yang dijadikan objek berpikir hanya berupa
konsep.
Berbeda dengan filsafat, agama tidak
hanya menggunakan kegiatan berpikir manusia. Agama juga melibatkan sumber
pengetahuan lain berupa wahyu, baik wahyu yang dipercaya diturunkan langsung
oleh Tuhan maupun dari tanda-tanda keagungan Tuhan yang tersebar di alam
semesta. Dalam agama, wahyu adalah pelengkap pengetahuan manusia.
Berbeda dengan filsafat Barat, pemikiran
Timur tidak menampilkan sistematika yang biasa dipakai dalam filsafat Barat,
seperti pembagian bidang kajian filsafat menjadi epistimologi, metafisika dan
aksiologi. Selain itu pemikiran Timur sering kali diterima begitu saja oleh
penganutnya tanpa satu kajian kritis terlebih dahulu, sehingga banyak pemikir
filsafat yang mengklaim pemikiran Timur sebagai agama. Filsafat Timur lebih
sering menafsirkan, berusaha memahaminya dan kemudian mengamalkannya. Disini
terkesan pemikiran Timur hanya seperangkat tuntutan praktis untuk menjalani
hidup atau sebagai serangkaian aturan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan.
Sampai disini terlihat bahwa alasan
pemikiran Timur bukanlah filsafat karena tidak memiliki sistematika yang harus
dimiliki filsafat tidak relevan lagi. Pemikiran Timur bisa jadi merupakan suatu
bentuk filsafat meski tanpa sistematika seperti yang ditampilkan filsafat
Barat. Maka, Pemikiran Timur adalah proses dan hasil usaha manusia untuk
memperoleh kebenaran yang didasari rasa cinta mereka kepada kebenaran.
Pendeknya, sebuah pemikiran yang berusaha untuk mendapatkan kebenaran dan
didasari oleh kecintaannya pada kebenaran dapat disebut filsafat.
Mengutip dari buku Bagus Takwin dalam
pendapat Fung Yu Lan, dikemukakan socrates yang kemudian dikutip oleh Plato
dalam Phaedrus: “ ... Orang-orang yang gagasan dan pemikirannya didasari oleh
pengetahuan tentang kebenaran dan dapat mempertahankannya dengan argumentasi
yang kuat patut disebut filsuf. Mereka adalah pecinta kebijaksanaan. “
Dengan dasar ini pemikiran-pemikiran
Timur seperti Confucius, Lao ze, dan Sidharta Gautama layak disebut filusuf.
Dengan demikian buah pemikirannya dapat digolongkan sebagai pemikiran sebagai
pemikiran filosofiss. Untuk mempertegas kehadirannya sebagai filsafat,
belakangan pengkajian pemikiran Timur menyertakan juga pemenuhan
kriteria-kriteria yang umumnya diterapkan pada filsafat. Perkembangan pemikiran
filsafat membutuhkan adanya dialog, diskusi adu argumentasi dan membuka diri
terhadap berbagai pemikiran.
Dengan
mendasarkan pengertian-pengertian itu, pemikiran Timur seperti Hinduisme,
Budhisme, Daonisme, Budhisme Chan, Tao
Tze, Confucius dan pemikiran Islam dapat disebut sebagai Filsafat dan menjadi
bagian dari Filsafat Timur. Sebuah ciri khas dari filsafat timur adalah kedekatannya
hubungan filsafat dengan agama. Filsafat timur ini sebenarnya tidak hanya di
pandang filsafat agama juga, tetapi termasuk falsafah hidup. Filsafat Cina
adalah salah satu dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya menjadi salah satu
filsafat dasar dari tiga filsafat dasar yang mempengaruhi sejarah perkembangan
filsafat dunia, disamping filsafat India dan filsafat Barat. Filsafat Cina
sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dari
masa ke masa.
Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni
harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni,
suatu jalan tengah antara dua ekstrem yaitu antara manusia dan sesama, antara
manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam
keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari
pendapat-pendapat pribadi. Suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas
yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian pada perikemanusiaan,
pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat.
Manusia yang selalu merupakan pusat
filsafat Cina. Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan
dewa-dewa semua dikuasai oleh suatu nasib buta yang sering disebut Moira, dan
ketika kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam
roda reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia
sendiri dapat menentukan nasibnya dan tujuannya.
Filsafat Cina cendrung mengutamakan pemikiran praktis
berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain, cenderung
mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia. Para ahli sejarah pemikiran
mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat kecenderungan tersebut, Pertama,
dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak
dapat dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat
dalam tradisi filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai
persoalan yang muncul dari kehidupan yang aktual.
Kedua, secara umum filsafat Cina bertolak dari semacam humanisme. Tekanannya pada persoalannya
kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam
masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian
besar filosof Cina. Lalu yang ketiga, dalam pemikiran filosof Cina etika dan
spiritualitas (masalah kerohanian) menyatu secara padu. Etika dianggap sebagai
intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan hidupnya. Di lain hal konsep
keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang menjunjung
tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan
etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti etika
dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
Keempat, meskipun menekankan pada persoalan manusia sebagai
makhluk sosial, persoalan yang bersangkut paut dengan pribadi atau
individualitas tidak dikesampingkan. Namun demikian secara umum filsafat Cina
dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat secara bijak dan cerdas’.
Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian besar.
Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai
dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.
Kelima, filsafat Cina secara umum mengajarkan sikap
optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin bahwa manusia dapat
mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata dirinya melalui berbagai
kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap demokratis membuat bangsa
Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan tidak cenderung memandang
sesuatu secara hitam putih. Keenam, agama dipandang tidak terlalu penting
dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat mengurangi
pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan pada
leluhur.
Ketujuh, penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu
tampak dalam filsafat hukum dan politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya
dibanding aturan-aturan formal yang abstrak dari hukum, undang-undang dan
etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah,
jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai. Kedelapan, dilihat dari sudut
pandang intelektual, Para filosof Cina
berhasil membangun etos masyarakat Cina seperti mencintai belajar dan mendorong
orang gemar melakukan penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum
memecahkan dan melakukan sesuatu. Demikianlah pengetahuan dan integritas
pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina. Aliran pemikiran, teori dan
metodologi apa saja hanya bisa mencapai sasaran apabila dilaksanakan oleh
seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan integratitas pribadi yang kokoh.
2.2
Filsafat
Sejarah Dalam Pemikiran Konfusius
2.2.1. Pandangan
Confucius Tentang Hubungan Sejarah dengan Manusia.
Manusia dan Sejarah Manusia membentuk
serta menghasilkan sejarah dan bersamaan dengan itu ia dibentuk dan dipengaruhi
oleh sejarah (Bertens, 1987; 200). Oleh sebab itu pada hakikatnya semua
permasalahan berkisar sekitar faktor manusiawi, tidak hanya sebagai unsur
objektif, lebih dari itu juga selaku unsur objektif (Sartono Kartodirdjo, 1990;
252). Dengan demikian jelas bahwa manusia merupakan faktor utama dalam
pembahasan sejarah. Sedang dalam diri manusia secara hakiki terdapat unsur
spiritualitas dan unsur materialitas atau secara gampang dapat dikatakan bahwa
hakikat manusia terdiri dari jiwa (rohani) dan raga/badan (lahir). Dan secara
implicit Confucius mengakui adanya unsur spiritualitas dan materialitas yang
ada dalam diri manusia. Menurut Confucius semua tindakan yang menyangkut unsur
materialitas atau keragaan manusia akan sia-sia jika tidak didasari oleh unsur
spiritualitas. Unsur spiritualitas ini diantaranya adalah Jen . Jen dapat
diartikan sebagai perikemanusiaan. Perikemanusiaan ini mengandung dua segi,
yaitu Chung (segi positif) dan Shu (segi negatif). Chung terlihat dalam
ungkapan “Apa yang engkau senangi dilakukan orang terhadapamu, lakukanlah
terhadap orang lain”. Segi Shu mengajarkan “Apa yang tidak kau sukai dilakukan
orang terhadapamu, jangan kau lakukan terhadap orang lain” (Creel, 1951; 34).
Unsur spiritualitas yang lain dalam diri manusia selain Jen yang harus
diwujudkan dalam tindakan yang mempertahankan unsur materialitas adalah: Yi
(kelayakan), Li (etiket atau sopan santun). Chih (kebijaksanaan). Manusia dalam
menghayati historisitas atau kesejarahannya tidak hanya mementingkan aspek
materialitasnya saja, akan tetapi selalu diimbangi dengan perkembangan
spiritualitasnya. Aspek materialitas yang terlihat nyata dalam berbagai
tindakan manusia haruslah selalu mencerminkan perkembangan berbagai aspek
spiritualitas manusia tersebut (Budisutrisna, 1998: 26-27).
Perbuatan manusia sebagai aspek
materialitas harus selalu mendasarkan diri pada aspek spiritualitas. Dalam
perkembangan kebudayaan manusia diarahkan kepada Chun Tzu (manusia unggul),
sejarah tidak pernah dibuat oleh manusia secara sendirian, akan tetapi selalu
dalam kebersamaan kelompok. Dalam hal ini Confucius lima hubungan social dalam
kebersamaan kelompok itu, yakni: hubungan antara penguasa dengan warganya,
hubungan antara suami dengan istri, antara ayah dengan anak, antara kakak dan
adik, dan antara sesama teman. Lima hubungan ini sering dikenal dengan konsep
Wu Lun . Untuk mewujudkan manusia-manusia Chun Tzu yang akan membuat tingginya
kebudayaan manusia, peranan individu tetap diakui tetapi tidak dapat dilepaskan
dari peranan kebersamaan kelompok tersebut. Hanya manusia-manusia yang berhasil
membuat keterkaitan harmonis aspek materialitas dan spiritualitas dalam
kebersamaan kelompoklah yang akan mencapai Chun Tzu , yang pada akhirnya akan
memajukan kebudayaan manusia. Sejarah digerakkan oleh manusianya. Namun
demikian Confucius mengakui bahwa keberhasilan usaha manusia tidak terlepas
dari Ming , keputusan alam ketuhanan. Usaha manusia tidak terlepas dari peranan
Tuhan. (Budisutrisna, 1998: 27-28)
2.2.2.
Pandangan Confucius tentang Hubungan
Sejarah dengan Waktu.
Eksistensi manusia menurut kodratnya
mempunyai struktur temporal. Sejarah perkembangan manusia selalu terkait dengan
tiga dimensi kesejarahan, yakni: dimensi masa lampau, masa sekarang, dan masa
yang akan datang. Dari tiga dimensi tersebut hanya masa sekarang (kini) yang
sungguh-sungguh real, berarti masa lampau terangkum dalam masa sekarang, dan
masa depan menjadi proyeksi masa kini (Misnal Munir, 1997: 139).
Pandangan Confucius tentang waktu
menunjukkan adanya interpretasi terhadap sejarah di masa lampau serta bagaimana
sejarah dibentuk pada masa depan. Dalam hal ini peninggalan tradisi dan budaya
di masa lampau diinterpretasikannya, missal: Li yang semula berarti tata
upacara berkorban kemudian diberi arti sebagai etiket atau sopan santun; Tao
yang semula berarti jalan kemudian diberi arti sebagai kode etik individu dan
pola pemerintahan; Chun Tzu yang semula berarti orang keturunan bangsawan
kemudian diberi arti manusia unggul atau gentle man . Jadi terhadap kebudayaan
masa lampau, Confucius tidak membuanganya tetapi diambil semangatnya, intinya,
yaitu aspek spiritualitasnya – menurut Confucius esensi kebudayaan adalah Jen.
Masa sekarang, bagi Confucius tergambar dalam pendidikan sebagai strategi
kebudayaan. Dalam bidang pendidikan ia merasa bahwa fungsi utamanya memberi
tafsiran terhadap warisan masa lampau, juga memberikan tafsiran baru terhadapanya
yang didasarkan atas konsepsi-konsepsi moral (Fung Yu Lan, 1990, 51).
Perkembangan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masa sekarang tanpa
meninggalkan identitas yang sudah dimiliki di masa lampau yang tersimpul dalam
Jen sebagai esensi dari setiap kebudayaan. Jen ini juga selalu terkait dengan
Yi, Li, dan Chih. Kemudian masa depan tergambar dalam cita-cita manusia ideal
Chun Tzu yang akan dapat menciptakan kebudayaan yang unggul pula. Bagi
Confucius untuk merencanakan dan merekayasa masa depan melalui strategi
kebudayaannya peranan pendidikan sekali lagi amat penting – seperti sudah
disebutkan. Hal lain yang turut memacu terwujudnya masa depan, seperti telah
dijelaskan pada bab sebelumnya adalah kebijakan penggunaan bahasa yang tepat,
termasuk menyatunya antara perkataan dan perbuatan (Budisutrisna, 1998: 28-29)
2.2.3. Pandangan Confucius tentang Arah Sejarah
Manusia di dalam hidupnya mengejar
kebahagiaan spiritual dan kesejahteraan material (R. Sujadi dkk, 1986; 22).
Secara implisit sesungguhnya Confucius mempunyai pandangan mengenai arah
perkembangan sejarah yang mencakup baik aspek materialitas maupun
spiritualitas.
Titik pusat perhatian Confucius
diarahkan pada usaha untuk memperbaiki keadaan masyarakat yang kacau menjadi
masyarakat yang lebih beradab. Hal ini dapat terwujud jika manusia mencapai
Chun Tzu . Dalam Chun Tzu ini tersimpul perkembangan aspek materialitas dan
spiritualitas, dalam artian tindakan-tindakan manusia mendasarkan diri pada
aspek: Jen , Y i, Li , dan Chih untuk selalu mewujudkannya. Untuk mewujudkannya
itu dicapai dalam kebersamaan masyarakat ( lima hubungan sosial) dan pada
akhirnya hasilnya diserahkan kepada Ming . Sesudah manusia berusaha, berhasil
atau tidaknya diserahkan kepada keputusan Tuhan. Dengan demikian arah
perkembangan sejarah tidak hanya mementingkan dimensi horizontal, akan tetapi
juga mengutamakan dimensi vertical.
Arah perkembangan sejarah menghendaki
keselarasan hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan
Tuhannya. Chun Tzu merupakan sosok manusia yang layak didambakan oleh setiap
insane, sosok manusia unggul, termasuk unggul dengan dirinya sendiri dibanding
dengan masa lampau. Jika suatu hari dapat memperbaharui terus-menerus dan
dijaga agar baru selama-lamanya. Bagi Confucius taraf kebudayaan manusia yang
tinggi yang membuahkan kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, yang dapat
terwujud melalui manusia-manusia Chun Tzu bukanlah sesuatu yang statis tetapi
dinamis (selalu disesuaikan situasi – kondisi perkembangan jaman, dalam hal ini
Confucius selalu menginterpretasikan masa lampau secara baru). Dengan demikian
arah sejarah bukanlah bukanlah sesuatu yang sudah selesai, berhenti, tetapi
sesuatu yang terus menerus menjadi disesuaikan dengan jamannya. (Budisutrisna,
1998: 29-30).
2.2.4.
Evaluasi Kritis Tentang Kedudukan Tuhan
dalam Filsafat Sejarah Confucius.
Pemikiran Confucius sebagai salah satu
dari sekian banyak pemikiran Tiongkok tentunya memiliki karakteristik yang
tidak jauh berbeda. Dalam karakteristik filsafat Tiongkok terdapat satu cirri
pemikiran Tiongkok yaitu jauh dari hal-hal yang bersifat adi kodrati, termasuk
pembahasan tentang Tuhan. Akan tetapi, apakah hal itu juga berlaku bagi
pemikiran Confucius? Apakah Confucius tidak menyinggung tentang Tuhan sama sekali
dalam pemikirannya? Memang Confucius tidak suka membicarakan hal-hal yang
bersifat religius. Karena banyak hal yang tidak dapat dibuktikan dengan panca
indera, tetapi hanya dapat dipercaya (Lasiyo, 1983; 28).
Walaupun demikian bukan berarti
Confucius tidak bertuhan. Hal ini terbukti ketika pada suatu saat dicela dan
tidak ada orang yang mampu mengerti tentang dia, kemudian Confucius berkata
“Akan tetapi Sorga mengerti saya” (Creel, 1954; 49). Menurut Confucius
ajaran-ajarannya sesungguhnya ilham dari Tuhan (Tien) dengan maksud membimbing
kepada jalan kesempurnaan (Tao).
Dalam pandangan Confucius kedudukan
Tuhan memainkan peranan sentral dalam seluruh aspek kehidupan, hanya saja ia
tidak mau untuk membicarakan secara panjang lebar. Bahkan dia pernah berkata
kepada muridnya, “Kau belum mengetahui kehidupan bagaimana kau hendak
mengetahui kematian”. Manusia menurut Confucius dalam menentukan perkembangan
hidupnya bertumpu pada usahanya dan kemampuannya yang disandarkan pada Ming ,
keputusan alam ketuhanan. Tuhan selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia,
dan menjadi penentu keberhasilan setelah berbagai usaha dilakukan. Keyakinan
Confucius pada peranan Tuhan tercemin dalam ajarannya mengenai Ming . Baginya
Ming berarti keputusan alam ketuhanan. Hal yang paling baik yang dikerjakan
manusia ialah sekedar berusaha untuk melaksanakan apa yang diketahui seharusnya
dikerjakan. Manusia seharusnya berusaha sekuat tenaga, tetapi hasilnya terserah
kepada Ming (Fung Yu Lan, 1989; 29). Dengan demikian tidak berarti manusia
pasrah secara pasif terhadap nasib, karena usaha dipandang penting. Ming
menjadi penentu akhir perjalanan historisitas manusia (Budisutrisna,1998: 31).
BAB
III
KESIMPULAN
Dalam pemikiran Confucius mengandung
pemikiran tentang filsafat sejarah. Hal ini terbukti dengan adanya pandangan
Confucius tentang sejarah yang menyatakan bahwa sejarah berdasarkan atas
kesadaran manusia dalam memahami masa lampau dan kemampuannya dalam membuat
proyeksi masa depan. Menurut Confucius sejarah sangat berkaitan dengan
perkembangan manusia dalam hidupnya. Manusia dalam hidupnya tidak hanya pasif
saja, tetapi juga aktif menetukan arah perkembangan sejarahnya.
Pandangannya tentang waktu menunjukkan
adanya interpretasi terhadap sejarah di masa lampau serta bagaimana sejarah
dibentuk pada masa depan. Dalam hal ini peninggalan tradisi dan budaya di masa
lampau diinterpretasikannya
Menurut Confucius manusia Chun Tzu
bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis (selalu disesuaikan situasi –
kondisi perkembangan jaman, dalam hal ini Confucius selalu menginterpretasikan
masa lampau secara baru). Jadi, arah sejarah bukanlah sesuatu yang sudah
selesai, berhenti, tetapi sesuatu yang terus menerus menjadi disesuaikan dengan
jamannya
Filsafat sejarah Confucius mempunyai dimensi
ketuhanan. Manusia menurut Confucius dalam menentukan perkembangan hidupnya
bertumpu pada usahanya dan kemampuannya yang disandarkan pada Ming , keputusan
alam ketuhanan. Tuhan selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia, dan menjadi
penentu keberhasilan setelah berbagai usaha dilakukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat
Modern Tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.
Bertens, K. 1987. Panorama Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.
Budisutrisna. 1998. Historisitas dalam Pandangan Confucius. Yogyakarta: Fak. Filsafat
UGM.
Creel, H.G. 1989. Chinese Thought from Confucius to Mao tse-Tung , Alih bahasa Soejono
Soemargono. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana .
Fung Yu Lan. 1990. A Short History of Chinese Philosophy , Alih bahasa Soejono Soemargono.
Yogyakarta: Liberty.
Lasiyo. 1983. Confucius . Yogyakarta: Proyek PPPT UGM .
Misnal Munir. 1997. “Historisitas Dalam Pandangan Filosof Barat dan Pancasila” dalam Jurnal
Filsafat . Edisi Khusus Agustus 1997 hal. 125-148.
Sartono Kartodirdjo. 1986. Ungkapan Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan
Timur , Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah. Jakarta: Gramedia .
_________. 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press .
Soejadi R, Koento Wibisono. 1986. ”Aliran-Aliran Filsafat dan Filsafat
Pancasila” dalam Slamet Sutrisno (ed), Pancasila Sebagai Metode. Yogyakarta:
Liberty.
Takwin, Bagus. 2009. Filsafat Timur: Sebuah Pengantar ke
Pemikiran-pemikiran Timur. Yogyakarta: Jalasutra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar