Jumat, 28 Juni 2013

FILSAFAT SEJARAH TIMUR



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita kadang hanya lewat dan mengalir begitu saja, tanpa ada upaya untuk melakukan suatu langkah reflektif sehingga peristiwa tersebut menjadi tidak bermakna. Seharusnya, manusia dapat berupaya untuk memberikan atau menerapkan suatu makna kepada sejarah, hanya dengan demikian perbuatan manusia dapat disusun secara kait-mengkait dan dapat diarahkan ke hari depan (Misnal Munir, 1997; 126). Manusia mempunyai kewajiban etis untuk membuat gambaran hari depan sehingga sejarah mempunyai makna. Hal ini ditegaskan oleh Ankersmit (1987: 372) bahwa makna sejarah terletak pada kemampuan manusia secara bebas dan dengan kesadaran penuh mengenai tanggung jawab etis dalam memilih. Bagaimana wajah hari depan itu, serta bagaimana manusia secara optimal dapat memberi makna dan isi kepada sejarah itu. Sedang bagi Sartono Kartodirdjo (1900; 204-205) sejarah mempunyai fungsionalitas, artinya sejarah tidak hanya mempunyai makna dokumenter, tetapi juga mengandung makna apresiasif, yaitu mewujudkan kesadaran kolektif. Pengalaman sebagai pengendapan hasil proses kebudayaan berupa suatu subjektifitas hasil internalisasi subjek, sedangkan yang berupa objektifitas merupakan hasil eksternalisasi. Objektifitas terus-menerus akan menghasilkan pengalaman kolektif.
Sejarah mengandung beberapa aspek. Kees Bertens dalam bukunya “Panorama Filsafat Barat Modern (1987; 193-198) ” menyatakan sekurang-kurangnya ada empat aspek yang terdapat dalam sejarah. Pertama, sejarah manusia hanya dapat berlangsung dalam perkembangan yang harmonis antara unsur spiritualitas dan materialitas. Kedua, sejarah dapat berlanjut jika manusia bebas dalam merealisasikan diri. Ketiga, sejarah selalu berkaitan dengan waktu atau temporalitas yang selalu kontinu. Keempat, sejarah hanya dapat terjadi jika manusia berkarya bersama dengan manusia lain.
Dalam tulisan ini penulis ingin mencoba menggali tema filsafat sejarah Confucius, karena dalam pemikiran Confucius hal ini belum terungkap dengan jelas, sehingga yang akan dicoba di sini adalah sebuah penggalian filsafat tersembunyi dari pemikiran Confucius. Sebagai sebuah penelitian kepustakaan maka langkah-langkah yang dilakukan adalah mulai dari mengumpulkan data yang terkait dengan tema, kemudian menyusun, dan memberikan analisa kritis. Dalam penulisannya, karya ini banyak mengacu pada penelitian Drs. Budisutrisna, M.Hum yang berjudul “Historisitas dalam pandangan Confucius”.
Berbicara mengenai Confucius, dia termasuk orang yang menginginkan agar akal budi mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam kehidupan sosial. Dalam kerangka pemahaman kesejarahan ia pun mempelajari sejarah dan menginterpretasikannya untuk menemukan hukum-hukum perkembangannya. Dalam kenyataannya ia tetap melestarikan apa yang dipandang baik dalam kebudayaan masa lampau, tapi juga menciptakan suatu kebudayan baru yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi. Pemikiran Confucius lebih banyak membahas manusia sebagai individu sekaligus sebagai makhluk social. Hal ini berbeda dengan aliran besar lainnya, yakni Taoisme yang cenderung menyoroti hubungan manusia dengan alam. Kehidupan Confucius sendiri sudah pasti merupakan contoh yang baik bagi ajarannya. Ia mempunyai obsesi besar untuk mengubah dunia (Fung Yu Lan, 1990: 57). Mengenai profil dari sosok Confucius kiranya tidak begitu perlu diangkat di sini karena tokoh ini sudah cukup terkenal dalam dunia pemikiran timur, khususnya Tiongkok.
Berdasarkan uraian di atas, terlhat bahwa filsafat Cina mempunyai karakteristik yang berbeda dengan filsafat timur lainnya. untuk itu kami sekelompok ingin mengetahui bagaimana filsafat sejarah dalam pemikiran Konfusius dengan judul makalah “Filsafat Sejarah Dalam Pemikiran Confusius”.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah konsep filsafat sejarah timur?
2.      Bagaimanakah filsafat sejarah dalam pemikiran Konfusius?

C.      Tujuan
1.      Menjelaskan bagaimana konsep filsafat sejarah timur.
2.      Menjelaskan bagaimana filsafat sejarah dalam pemikiran Konfusius.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Konsep Filsafat Sejarah Timur
Filsafat Timur merupakan sebutan bagi pemikiran-pemikiran yang berasal dari dunia timur atau Asia, seperti Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang, Filsafat Islam, Filsafat Buddhisme dan sebagainya. Masing-masing jenis filsafat merupakan suatu sistem-sistem pemikiran yang luas dan plural. Misalnya saja, filsafat India dapat terbagi menjadi filsafat Hindu dan Filsafat Buddhisme, sedangkan filsafat Cina dapat terbagi menjadi Konfusianisme dan Taoisme.
Filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat Barat, yang mana ciri-ciri agama terdapat juga di dalam filsafat Timur, sehingga banyak ahli berdebat mengenai dapat atau tidaknya pemikiran Timur dikatakan sebagai filsafat. Pemikiran Timur, sering dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis dan tidak kritis (Bagus Takwin, 2009:13). Pemikiran-pemikiran tersebut lebih dianggap sebagai kepercayaan religius atau agama dari pada filsafat, karena dianggap tidak rasional, tidak sistematis dan tidak kritis. Selain itu, pemikiran Timur seringkali diterima begitu saja oleh para penganutnya tanpa suatu kajian kritis; mereka hanya menafsirkan, berupaya memahami, dan kemudian mengamalkannya. Meskipun keduanya antara Agama dan Filsafat bertujuan menemukan kebenaran, keduanya memiliki perbedaan mendasar. Agama mengajarkan kepatuhan, filsafat mengandalkan kemampuan berfikir kritis yang sering tampil dalam perilaku meragukan. Akan tetapi, sebenarnya hal itu tidak bisa menjadi kriteria untuk menentukan pemikiran Timur digolongkan sebagai filsafat atau tidak, sebab seringkali kategorisasi 'filsafat' dan bukan 'filsafat' ditentukan oleh 'Barat' yang memaksakan kriteria-kriterianya terhadap 'Timur'.
Definisi menurut asal kata filsafat adalah cinta kepada kebenaran (Bagus Takwin, 2009:19). Dilihat dari definisi filsafat, sebenarnya pemikiran Timur dapat dikategorikan sebagai filsafat, sejauh filsafat Timur merupakan usaha manusia untuk memperoleh kebenaran, yang didasarkan pada rasa cinta akan kebenaran itu sendiri. Pemikiran-pemikiran Timur banyak yang memiliki kedalaman, bersifat analitis, dan kritis, bahkan melebihi pemikiran Barat, misalnya seperti KonfusiusLao Tzu, dan Siddharta Gautama. 
Pengetahuan akan kebenaran selalu berkaitan dengan kebijaksanaan dan mengandung dua unsur, yakni pengetahuan akan kebaikan tertinggu dan tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi. Pengetahuan dan tindakan haruslah hadir di dalam diri seorang yang bijaksana. Kedua hal ini ada di dalam pemikiran sejumlah pemikir Timur seperti Lao Tzu, Konfusius, Siddharta Gautama, para filsuf Hindu, dan para filsuf Islam, sehingga pemikiran mereka dapat disebut filsafat Timur.
Dalam pemikiran Barat konvensional, pengertian sistematis, radikal dan kritis seringkali merujuk pada satu pengertian yang ketat. Setiap kriteria dibuat sedemikian sempitnya sehingga menutup kemungkinan masuknya berbagai pemikiran lain (bagus Takwin, 2009:20). Dengan kata lain, pernyataan itu dapat diuji dengan menggunakan logika Barat.
Padahal kalau kita melihat sejarah filsafat, pengertian filsafat tidak sesempit dan seketat yang dikemukakan oleh Barat, bahwa masing-masing kriteria memiliki kemungkinan yang luas dari sekedar yang diajukan para filsuf empirik, positivistik dan filsafat analitik. Pembatasan kaum empiris, posiivistic dan filsafat analitik terkesan membekukan satu kriteria kebenaran dan menutup kriteria kebenaran lain.
Jika kita ingin membedakan antara filsafat dan agama, merujuk pada buku Bagus Takwim, maka jawaban paling sering ditemukan adalah: filsafat diperoleh melalui aktivitas berfikir atau aktivitas rasional sedangkan agama diperoleh melalui aktivitas irasional. Sifat rasional dan filsafat mengindikasikan bahwa pengetahuan-pengetahuan yang terangkum di dalamnya merupakan hasil dari kegiatan berfikir manusia.
Filsafat memanfaatkan sepenuhnya kemampuan berfikir manusia untuk memahami segala perwujudan kenyataan. Filsafat menghindari sumber-sumber pengetahuan selain kegiatan berpikir. Dalam filsafat, kegiatan berpikir yang dilakukan bersifat reflektif dan caranya bersifat spekulatif dalam arti materi-materi yang dijadikan objek berpikir hanya berupa konsep.
Berbeda dengan filsafat, agama tidak hanya menggunakan kegiatan berpikir manusia. Agama juga melibatkan sumber pengetahuan lain berupa wahyu, baik wahyu yang dipercaya diturunkan langsung oleh Tuhan maupun dari tanda-tanda keagungan Tuhan yang tersebar di alam semesta. Dalam agama, wahyu adalah pelengkap pengetahuan manusia.
Berbeda dengan filsafat Barat, pemikiran Timur tidak menampilkan sistematika yang biasa dipakai dalam filsafat Barat, seperti pembagian bidang kajian filsafat menjadi epistimologi, metafisika dan aksiologi. Selain itu pemikiran Timur sering kali diterima begitu saja oleh penganutnya tanpa satu kajian kritis terlebih dahulu, sehingga banyak pemikir filsafat yang mengklaim pemikiran Timur sebagai agama. Filsafat Timur lebih sering menafsirkan, berusaha memahaminya dan kemudian mengamalkannya. Disini terkesan pemikiran Timur hanya seperangkat tuntutan praktis untuk menjalani hidup atau sebagai serangkaian aturan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan.
Sampai disini terlihat bahwa alasan pemikiran Timur bukanlah filsafat karena tidak memiliki sistematika yang harus dimiliki filsafat tidak relevan lagi. Pemikiran Timur bisa jadi merupakan suatu bentuk filsafat meski tanpa sistematika seperti yang ditampilkan filsafat Barat. Maka, Pemikiran Timur adalah proses dan hasil usaha manusia untuk memperoleh kebenaran yang didasari rasa cinta mereka kepada kebenaran. Pendeknya, sebuah pemikiran yang berusaha untuk mendapatkan kebenaran dan didasari oleh kecintaannya pada kebenaran dapat disebut filsafat.
Mengutip dari buku Bagus Takwin dalam pendapat Fung Yu Lan, dikemukakan socrates yang kemudian dikutip oleh Plato dalam Phaedrus: “ ... Orang-orang yang gagasan dan pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran dan dapat mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat patut disebut filsuf. Mereka adalah pecinta kebijaksanaan. “
Dengan dasar ini pemikiran-pemikiran Timur seperti Confucius, Lao ze, dan Sidharta Gautama layak disebut filusuf. Dengan demikian buah pemikirannya dapat digolongkan sebagai pemikiran sebagai pemikiran filosofiss. Untuk mempertegas kehadirannya sebagai filsafat, belakangan pengkajian pemikiran Timur menyertakan juga pemenuhan kriteria-kriteria yang umumnya diterapkan pada filsafat. Perkembangan pemikiran filsafat membutuhkan adanya dialog, diskusi adu argumentasi dan membuka diri terhadap berbagai pemikiran.
Dengan mendasarkan pengertian-pengertian itu, pemikiran Timur seperti Hinduisme, Budhisme, Daonisme, Budhisme Chan,  Tao Tze, Confucius dan pemikiran Islam dapat disebut sebagai Filsafat dan menjadi bagian dari Filsafat Timur. Sebuah ciri khas dari filsafat timur adalah kedekatannya hubungan filsafat dengan agama. Filsafat timur ini sebenarnya tidak hanya di pandang filsafat agama juga, tetapi termasuk falsafah hidup. Filsafat Cina adalah salah satu dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar dari tiga filsafat dasar yang mempengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia, disamping filsafat India dan filsafat Barat. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa.
Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem yaitu antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi. Suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian pada perikemanusiaan, pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusia  yang selalu merupakan pusat filsafat Cina. Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa semua dikuasai oleh suatu nasib buta yang sering disebut Moira, dan ketika kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan nasibnya dan tujuannya.
Filsafat Cina cendrung mengutamakan pemikiran praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain, cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia. Para ahli sejarah pemikiran mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat kecenderungan tersebut, Pertama, dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat dalam tradisi filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai persoalan yang muncul dari kehidupan yang aktual.
Kedua, secara umum filsafat Cina bertolak dari semacam  humanisme. Tekanannya pada persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian besar filosof Cina. Lalu yang ketiga, dalam pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah kerohanian) menyatu secara padu. Etika dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
Keempat, meskipun menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun demikian secara umum filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat secara bijak dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.
Kelima, filsafat Cina secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih. Keenam, agama dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan pada leluhur.
Ketujuh, penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang abstrak dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai. Kedelapan, dilihat dari sudut pandang intelektual, Para filosof  Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina seperti mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu. Demikianlah pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai sasaran apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan integratitas pribadi yang kokoh.

2.2    Filsafat Sejarah Dalam Pemikiran Konfusius
2.2.1.      Pandangan Confucius Tentang Hubungan Sejarah dengan Manusia.
Manusia dan Sejarah Manusia membentuk serta menghasilkan sejarah dan bersamaan dengan itu ia dibentuk dan dipengaruhi oleh sejarah (Bertens, 1987; 200). Oleh sebab itu pada hakikatnya semua permasalahan berkisar sekitar faktor manusiawi, tidak hanya sebagai unsur objektif, lebih dari itu juga selaku unsur objektif (Sartono Kartodirdjo, 1990; 252). Dengan demikian jelas bahwa manusia merupakan faktor utama dalam pembahasan sejarah. Sedang dalam diri manusia secara hakiki terdapat unsur spiritualitas dan unsur materialitas atau secara gampang dapat dikatakan bahwa hakikat manusia terdiri dari jiwa (rohani) dan raga/badan (lahir). Dan secara implicit Confucius mengakui adanya unsur spiritualitas dan materialitas yang ada dalam diri manusia. Menurut Confucius semua tindakan yang menyangkut unsur materialitas atau keragaan manusia akan sia-sia jika tidak didasari oleh unsur spiritualitas. Unsur spiritualitas ini diantaranya adalah Jen . Jen dapat diartikan sebagai perikemanusiaan. Perikemanusiaan ini mengandung dua segi, yaitu Chung (segi positif) dan Shu (segi negatif). Chung terlihat dalam ungkapan “Apa yang engkau senangi dilakukan orang terhadapamu, lakukanlah terhadap orang lain”. Segi Shu mengajarkan “Apa yang tidak kau sukai dilakukan orang terhadapamu, jangan kau lakukan terhadap orang lain” (Creel, 1951; 34). Unsur spiritualitas yang lain dalam diri manusia selain Jen yang harus diwujudkan dalam tindakan yang mempertahankan unsur materialitas adalah: Yi (kelayakan), Li (etiket atau sopan santun). Chih (kebijaksanaan). Manusia dalam menghayati historisitas atau kesejarahannya tidak hanya mementingkan aspek materialitasnya saja, akan tetapi selalu diimbangi dengan perkembangan spiritualitasnya. Aspek materialitas yang terlihat nyata dalam berbagai tindakan manusia haruslah selalu mencerminkan perkembangan berbagai aspek spiritualitas manusia tersebut (Budisutrisna, 1998: 26-27).
Perbuatan manusia sebagai aspek materialitas harus selalu mendasarkan diri pada aspek spiritualitas. Dalam perkembangan kebudayaan manusia diarahkan kepada Chun Tzu (manusia unggul), sejarah tidak pernah dibuat oleh manusia secara sendirian, akan tetapi selalu dalam kebersamaan kelompok. Dalam hal ini Confucius lima hubungan social dalam kebersamaan kelompok itu, yakni: hubungan antara penguasa dengan warganya, hubungan antara suami dengan istri, antara ayah dengan anak, antara kakak dan adik, dan antara sesama teman. Lima hubungan ini sering dikenal dengan konsep Wu Lun . Untuk mewujudkan manusia-manusia Chun Tzu yang akan membuat tingginya kebudayaan manusia, peranan individu tetap diakui tetapi tidak dapat dilepaskan dari peranan kebersamaan kelompok tersebut. Hanya manusia-manusia yang berhasil membuat keterkaitan harmonis aspek materialitas dan spiritualitas dalam kebersamaan kelompoklah yang akan mencapai Chun Tzu , yang pada akhirnya akan memajukan kebudayaan manusia. Sejarah digerakkan oleh manusianya. Namun demikian Confucius mengakui bahwa keberhasilan usaha manusia tidak terlepas dari Ming , keputusan alam ketuhanan. Usaha manusia tidak terlepas dari peranan Tuhan. (Budisutrisna, 1998: 27-28)
2.2.2.   Pandangan Confucius tentang Hubungan Sejarah dengan Waktu.
Eksistensi manusia menurut kodratnya mempunyai struktur temporal. Sejarah perkembangan manusia selalu terkait dengan tiga dimensi kesejarahan, yakni: dimensi masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Dari tiga dimensi tersebut hanya masa sekarang (kini) yang sungguh-sungguh real, berarti masa lampau terangkum dalam masa sekarang, dan masa depan menjadi proyeksi masa kini (Misnal Munir, 1997: 139).
Pandangan Confucius tentang waktu menunjukkan adanya interpretasi terhadap sejarah di masa lampau serta bagaimana sejarah dibentuk pada masa depan. Dalam hal ini peninggalan tradisi dan budaya di masa lampau diinterpretasikannya, missal: Li yang semula berarti tata upacara berkorban kemudian diberi arti sebagai etiket atau sopan santun; Tao yang semula berarti jalan kemudian diberi arti sebagai kode etik individu dan pola pemerintahan; Chun Tzu yang semula berarti orang keturunan bangsawan kemudian diberi arti manusia unggul atau gentle man . Jadi terhadap kebudayaan masa lampau, Confucius tidak membuanganya tetapi diambil semangatnya, intinya, yaitu aspek spiritualitasnya – menurut Confucius esensi kebudayaan adalah Jen. Masa sekarang, bagi Confucius tergambar dalam pendidikan sebagai strategi kebudayaan. Dalam bidang pendidikan ia merasa bahwa fungsi utamanya memberi tafsiran terhadap warisan masa lampau, juga memberikan tafsiran baru terhadapanya yang didasarkan atas konsepsi-konsepsi moral (Fung Yu Lan, 1990, 51). Perkembangan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masa sekarang tanpa meninggalkan identitas yang sudah dimiliki di masa lampau yang tersimpul dalam Jen sebagai esensi dari setiap kebudayaan. Jen ini juga selalu terkait dengan Yi, Li, dan Chih. Kemudian masa depan tergambar dalam cita-cita manusia ideal Chun Tzu yang akan dapat menciptakan kebudayaan yang unggul pula. Bagi Confucius untuk merencanakan dan merekayasa masa depan melalui strategi kebudayaannya peranan pendidikan sekali lagi amat penting – seperti sudah disebutkan. Hal lain yang turut memacu terwujudnya masa depan, seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya adalah kebijakan penggunaan bahasa yang tepat, termasuk menyatunya antara perkataan dan perbuatan (Budisutrisna, 1998: 28-29)
2.2.3.  Pandangan Confucius tentang Arah Sejarah
Manusia di dalam hidupnya mengejar kebahagiaan spiritual dan kesejahteraan material (R. Sujadi dkk, 1986; 22). Secara implisit sesungguhnya Confucius mempunyai pandangan mengenai arah perkembangan sejarah yang mencakup baik aspek materialitas maupun spiritualitas.
Titik pusat perhatian Confucius diarahkan pada usaha untuk memperbaiki keadaan masyarakat yang kacau menjadi masyarakat yang lebih beradab. Hal ini dapat terwujud jika manusia mencapai Chun Tzu . Dalam Chun Tzu ini tersimpul perkembangan aspek materialitas dan spiritualitas, dalam artian tindakan-tindakan manusia mendasarkan diri pada aspek: Jen , Y i, Li , dan Chih untuk selalu mewujudkannya. Untuk mewujudkannya itu dicapai dalam kebersamaan masyarakat ( lima hubungan sosial) dan pada akhirnya hasilnya diserahkan kepada Ming . Sesudah manusia berusaha, berhasil atau tidaknya diserahkan kepada keputusan Tuhan. Dengan demikian arah perkembangan sejarah tidak hanya mementingkan dimensi horizontal, akan tetapi juga mengutamakan dimensi vertical.
Arah perkembangan sejarah menghendaki keselarasan hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan Tuhannya. Chun Tzu merupakan sosok manusia yang layak didambakan oleh setiap insane, sosok manusia unggul, termasuk unggul dengan dirinya sendiri dibanding dengan masa lampau. Jika suatu hari dapat memperbaharui terus-menerus dan dijaga agar baru selama-lamanya. Bagi Confucius taraf kebudayaan manusia yang tinggi yang membuahkan kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, yang dapat terwujud melalui manusia-manusia Chun Tzu bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis (selalu disesuaikan situasi – kondisi perkembangan jaman, dalam hal ini Confucius selalu menginterpretasikan masa lampau secara baru). Dengan demikian arah sejarah bukanlah bukanlah sesuatu yang sudah selesai, berhenti, tetapi sesuatu yang terus menerus menjadi disesuaikan dengan jamannya. (Budisutrisna, 1998: 29-30).
2.2.4.   Evaluasi Kritis Tentang Kedudukan Tuhan dalam Filsafat Sejarah Confucius.
Pemikiran Confucius sebagai salah satu dari sekian banyak pemikiran Tiongkok tentunya memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda. Dalam karakteristik filsafat Tiongkok terdapat satu cirri pemikiran Tiongkok yaitu jauh dari hal-hal yang bersifat adi kodrati, termasuk pembahasan tentang Tuhan. Akan tetapi, apakah hal itu juga berlaku bagi pemikiran Confucius? Apakah Confucius tidak menyinggung tentang Tuhan sama sekali dalam pemikirannya? Memang Confucius tidak suka membicarakan hal-hal yang bersifat religius. Karena banyak hal yang tidak dapat dibuktikan dengan panca indera, tetapi hanya dapat dipercaya (Lasiyo, 1983; 28).
Walaupun demikian bukan berarti Confucius tidak bertuhan. Hal ini terbukti ketika pada suatu saat dicela dan tidak ada orang yang mampu mengerti tentang dia, kemudian Confucius berkata “Akan tetapi Sorga mengerti saya” (Creel, 1954; 49). Menurut Confucius ajaran-ajarannya sesungguhnya ilham dari Tuhan (Tien) dengan maksud membimbing kepada jalan kesempurnaan (Tao).
Dalam pandangan Confucius kedudukan Tuhan memainkan peranan sentral dalam seluruh aspek kehidupan, hanya saja ia tidak mau untuk membicarakan secara panjang lebar. Bahkan dia pernah berkata kepada muridnya, “Kau belum mengetahui kehidupan bagaimana kau hendak mengetahui kematian”. Manusia menurut Confucius dalam menentukan perkembangan hidupnya bertumpu pada usahanya dan kemampuannya yang disandarkan pada Ming , keputusan alam ketuhanan. Tuhan selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia, dan menjadi penentu keberhasilan setelah berbagai usaha dilakukan. Keyakinan Confucius pada peranan Tuhan tercemin dalam ajarannya mengenai Ming . Baginya Ming berarti keputusan alam ketuhanan. Hal yang paling baik yang dikerjakan manusia ialah sekedar berusaha untuk melaksanakan apa yang diketahui seharusnya dikerjakan. Manusia seharusnya berusaha sekuat tenaga, tetapi hasilnya terserah kepada Ming (Fung Yu Lan, 1989; 29). Dengan demikian tidak berarti manusia pasrah secara pasif terhadap nasib, karena usaha dipandang penting. Ming menjadi penentu akhir perjalanan historisitas manusia (Budisutrisna,1998: 31).













BAB III
KESIMPULAN

Dalam pemikiran Confucius mengandung pemikiran tentang filsafat sejarah. Hal ini terbukti dengan adanya pandangan Confucius tentang sejarah yang menyatakan bahwa sejarah berdasarkan atas kesadaran manusia dalam memahami masa lampau dan kemampuannya dalam membuat proyeksi masa depan. Menurut Confucius sejarah sangat berkaitan dengan perkembangan manusia dalam hidupnya. Manusia dalam hidupnya tidak hanya pasif saja, tetapi juga aktif menetukan arah perkembangan sejarahnya.
Pandangannya tentang waktu menunjukkan adanya interpretasi terhadap sejarah di masa lampau serta bagaimana sejarah dibentuk pada masa depan. Dalam hal ini peninggalan tradisi dan budaya di masa lampau diinterpretasikannya
Menurut Confucius manusia Chun Tzu bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis (selalu disesuaikan situasi – kondisi perkembangan jaman, dalam hal ini Confucius selalu menginterpretasikan masa lampau secara baru). Jadi, arah sejarah bukanlah sesuatu yang sudah selesai, berhenti, tetapi sesuatu yang terus menerus menjadi disesuaikan dengan jamannya
Filsafat sejarah Confucius mempunyai dimensi ketuhanan. Manusia menurut Confucius dalam menentukan perkembangan hidupnya bertumpu pada usahanya dan kemampuannya yang disandarkan pada Ming , keputusan alam ketuhanan. Tuhan selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia, dan menjadi penentu keberhasilan setelah berbagai usaha dilakukan.








DAFTAR PUSTAKA

Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.
Bertens, K. 1987. Panorama Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.
Budisutrisna. 1998. Historisitas dalam Pandangan Confucius. Yogyakarta: Fak. Filsafat UGM.
Creel, H.G. 1989. Chinese Thought from Confucius to Mao tse-Tung , Alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana .
Fung Yu Lan. 1990. A Short History of Chinese Philosophy , Alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: Liberty.
Lasiyo. 1983. Confucius . Yogyakarta: Proyek PPPT UGM .
Misnal Munir. 1997. “Historisitas Dalam Pandangan Filosof Barat dan Pancasila” dalam Jurnal Filsafat . Edisi Khusus Agustus 1997 hal. 125-148.
Sartono Kartodirdjo. 1986. Ungkapan Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur , Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah. Jakarta: Gramedia .
_________. 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press .
Soejadi R, Koento Wibisono. 1986. ”Aliran-Aliran Filsafat dan Filsafat Pancasila” dalam Slamet Sutrisno (ed), Pancasila Sebagai Metode. Yogyakarta: Liberty.
Takwin, Bagus. 2009. Filsafat Timur: Sebuah Pengantar ke Pemikiran-pemikiran Timur. Yogyakarta: Jalasutra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar