2.3
Tokoh-tokoh Hermeneutika
Studi
mengenai hermeneutika dalam ranah ilmu pengetahuan tidak bisa lepas dari
peran para pemikir hermeneutika yang mensosialisasikan metode ini sebagai
pendekatan analisis yang mempunyai tingkat pertanggungjawaban yang tinggi. Oleh
karena itu, pada bagian ini akan dibahas para ahli yang mempopulerkan
hermeneutika. Tokoh-tokoh yang akan dibahas pada bagian ini adalah F.D.E Schleirmacher, Wilhelm
Ditlhey,Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur.
a.
F.D.E
Schleirmacher
Schleirmacher
adalah seorang teolog,ahli filologi dan budaya yang merupakan guru besar
teologi dan filsafat Universitas Halle di Jerman. Ia dianggap sebagai bapak hermeneutika modern sebab membakukan hermeneutika menjadi metode umum
interpretasi yang tidak terbatas pada kitab suci dan sastra.
Pemikiran dalam karya-karyanya merupakan perluasan dari kuliah-kuliah kepada
mahasiswa sejak tahun 1805. Sumber pemikiran Schleirmacher berasal dari
epistimologi Kant, idealisme Schelling, Fichte dan Hegel serta empirisme
Inggris. Dari epistimologi Kant dia mengambil uraian tentang peran akal atau
nalar murni dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Idealisme Schelling yang
diambil adalah pendangan tentang identitas pribadi yang mempengaruhi corak
sebuah karya khususnya karya sastra, sehingga ia dipandang sebagai filosof
romantik. Akan tetapi, pemikiran Kant yang menempati porsi utama dalam
hermeneutika (Hadi, 2008:44-45).
Schleirmacher
memandang hermeneutika adalah sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi
teks-teks mengenai konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma. Tugas
hermeneutika adalah memahami teks-teks “sebaik atau lebih baik dari
pengarangnya” dan “memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami dirinya
sendiri”. oleh karena itu, Schleirmacher membagi pemahaman terhadap
hermeneutika kedalam tiga tahap, yaitu:
·
Tahap interpretasi dan
pemahaman mekanis yaitu pemahaman dan interpretasi kita dalam kehidupan
sehari-hari di jalan-jalan bahkan di pasar atau dimana saja orang berkumpul
bersama untuk berbincang tentang topik umum.
·
Tahap ilmiah yang
dilakukan di universitas-universitas dan diharapkan adanya pemahaman serta
interpretasi yang lebih tinggi. Tahap ini pada dasarnya adalah pemahaman dan
observasi.
·
Tahap ketiga adalah
tahap seni yaitu aturan yang mengikat atau membatasi imajinasi
(Subiyantoro,2006:89).
Pada
tahap pertama dan kedua menurut Schleirmacher tidak membawa pada pemahaman yang
semestinya. Karena pada kenyataannya teks yang dihadapi tidak cocok untuk
taraf-taraf interpretasi dan bahkan sering bertentangan. Schleirmacher lebih
cocok pada tahap ketiga karena penekanannya pada seni. Karena bagi Schleirmacher
“sebagai suatu seni maka tidak ada hermeneutika yang sudah dikhususkan
penggunaannya”. Pemahaman yang selalu dipasangkan dengan interpretasi tidak
lain adalah seni, dalam arti bahwa seseorang tidak dapat meramalkan waktu dan
cara seseorang mengerti.
Pemahaman
Schleirmacher dalam arti seni ditunjang oleh pemahamannya terhadap bahasa.
Bahasa hadir sebagai bagian penting dari keseluruhan sistem hermeneutikanya. Menurutnya
semakin lengkap pemahaman seseorang atas sesuatu bahasa dan psikologi
pengarang, akan semakin lengkap pula interpretasinya. Kompetensi linguistik dan
kemampuan mengetahui seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam hal seni
interpretasi. Schleirmacher disini memandang bahasa sebagai sesuatu yang
identik dengan pikiran. Dari ekspresi bahasa, ciri-ciri pemikiran masyarakat
dapat ditentukan (Hadi,2008:46).
Schleirmacher
menciptakan dua bentuk hermeneutika yaitu pemahaman ketatabahasaan dan pemahaman
psikologis yang ditunjukan oleh jiwa pengarang. sehingga hermeneutikanya sering
disebut sebagai hermeneutica intelligendi
karena penalaran rasional dan intuisi merupakan dua bentuk kecerdasan
tertinggi yang dimiliki manusia. Meskipun individualitas pengarang merupakan
tumpuan utama dalam hermeneutikanya, tetapi konteks kesejarahan dan budaya
pengarang menjadi pertimbangan yang penting.
Sebuah
tafsir membutuhkan intuisi tentang teks yang sedang dipelajari. Sebuah teks
yang sedang dipalajari tidak asing bagi kita, juga tidak sepenuhnya biasa bagi
kita. Keasingan dalam suatu teks dapat diatasi dengan mencoba memahami si
pengarangnya dengan cara membuat konstruksi imajinatif atas situasi zaman dan
kondisi batin pengarangnya serta berimpati kepadanya. Dengan kata lain, kita
harus membaut penafsiran psikologis atas teks sehingga dapat memproduksi
pengalaman pengarang. Pandangan Schleirmacher kemudian menuai kritikan karena
terlalu psikologis dan mengalami kesulitan karena berusaha untuk mengatasi
kesenjangan waktu yang memisahkan antara cakrawala budaya dengan cakrawala
budaya pengarang (Hamidi, 2007:62).
Prosedur
pemahaman dalam hermeneutika yang diajukan oleh Schleirmacher agak sederhana.
Pemahaman dan penafsiran harus diawali dengan perumusan prinsip-prinsip
pemahaman terlebih dahulu. Kemudian membangun hermeneutika yang umum (Hadi,2008:48).
Seorang pembaca yang ingin memhami sebuah teks harus keluar dari pendiriannya
atau teori yang diyakininya agar terbuka terhadap pendirian pengarang yang
mungkin berbeda dengan pendiriannya dalam berbagai persoalan.
b.
Wilhelm
Ditlhey
Dithey
merupakan salah satu penganggum dari filsafat Schleirmacher yang menggabungkan
teologi dan kesusastraan dengan karya-karya kefilsafatan. Ini merupakan titik
awal Dithey menjadi seorang filsuf. Dithey menaruh perhatian pada filsafat
kehidupan. Karena filsafat bagi Dithey bersifat esensial historis.
Peristiwa-peristiwa sejarah telah menunjukan jiwa manusia yang berubah dalam
alur waktu dengan cara yang tidak kelihatan. Karena manusia adalah makhluk yang
hidup dan berevolusi (Subiyantoro,2006:91).
Ditley
menaruh perhatian pada metode hermeneutika ketika mencoba untuk memecahkan
persoalan tentang bagaimana segala pengatahuan tentang individu atau
pengetahuan tentang singularitas eksistensi manusia menjadi ilmiah. Oleh itulah
perlu pemahaman diri yang mutlak. Pengalaman tentang geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang hidup
tergantung pada pengalaman-pengalaman batin yang tidak terjangkau oleh metode
ilmiah (Hamidi, 2007:62). Atas dasar itulah Dithey menyarankan untuk
menggunakan hermeneutika.
Menurut dia hermeneutika adalah dasar
pemahaman yang khusus mengenai geisteswissenschaften.
Berkenaan dengan keterlibatan individu dalam kehidupan bermasyarakat yang
hendak dipahami, ia merasa perlu memiliki tipe pemahaman yang khusus
(penafsiran reproduktif). Meskipun orang dapat menyadari keadaan dirinya
melalui ekspresi orang lain, namun orang masih dirasa perlu untuk membuat
interpretasi atas ekspresi tersebut. Hermeneutika dapat bekerja jika ekspresi
sudah dikenal atau tidak asing. Oleh karena itu hermeneutika bagi Dithey
bersifat kesejarahan (Hamidi, 2007:62). Peristiwa-peristiwa yang terjadi harus
dipahami sebagai suatu ekspresi kehidupan sejarah, sehingga yang diproduksi
bukankah pengarangnya tetapi makna peristiwa sejarahnya Ini berarti bahwa makna
itu tidak berhenti pada satu masa saja tetapi selalu berubah menurut modifikasi
sejarahnya.
c.
Hans-Georg
Gadamer
Gadamer
merupakan murid dari Martin Heidegger yaitu filsuf besar hermeneutika modern
pada abad ke-20. Gadamer meneruskan pemikiran Heidegger yang terkenal dengan lingkaran hermeneutis. Dalam gagasan
Heidegger, hermeneutika merupakan bagian dari eksistensi manusia sendiri, built in dalam diri manusia
(Hamidi,2007:63). Dalam memahami dunia dan sejarahnya, manusia merupakan
cakrawala bagi pemahaman dirinya. Suatu objek menampakkan dirinya hanya dalam
suatu keseluruhan makna, dan setiap pengertian tentang objek baru terjadi
karena adanya pemahaman yang mendahuluinya sebagai the conditions of possibility (syarat-syarat kemungkinan)[1].
Gagasan
tentang lingkaran hermeneutis
dikembangkan oleh Gadamer hingga menjadi sebuah teori filosofis mengenai
pemahaman sehingga menjadi hermeneutika filosofis. Gadamer melontarkan
kritiknya terhadap hermeneutika romantik yang dirintis oleh Schleiermacher dan
Dilthey. Baginya, kesenjangan waktu antara kita dan pengarangnya tidak harus
diatasi seolah-olah sebagai suatu yang negatif, tetapi justru harus dipikirkan
sebagai perjumpaan cakrawal-cakrawala pemahaman. Cakrawala pemahaman dapat
diperkaya dengan membandingkannya dengan cakrawala-cakrawala pengarang. oleh
karena itu, penafsiran tidak bersifat reproduktif belaka tetapi juga produktif.
Artinya bahwa makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya melainkan makna baru
bagi kita yang hidup di zaman ini, maka menafsirkan adalah proses
kreatif-inovatif.
Gadamer
memandang bahwa hermeneutika adalah seni bukan proses mekanis. Jika pemahaman
adalah jiwa dari hermeneutika, maka pemahaman tidak dapat dijadikan pelengkap
proses mekanis. Pemahaman dan hermeneutika hanya dapat diberlakukan sebagai
suatu karya seni. Pemikirannya mengenai hermeneutika, salah satunya adalah
konsep mengenai manusia yaitu, bildung atau
kebudayaan, Sensus Communis atau
pertimbangan praktis yangbaik, Sense
Communis dan selera. Konsep-konsep tersebut menuju pada pengetahuan tentang
hidup (Subiyantoro,2006:93-94).
d.
Paul
Ricoeur
Paul Ricoeur lebih merupakan tokoh hermeneutika modern
disamping Gadamer. Karya-karyanya terutama membicarakan mengenai masalah
psikoanalisis, hubungan linguistik dengan hermeneutika dan permasalahan
strukturalisme. Pemikiran Ricoeur mengenai hermeneutika terdapat dalam karyanya
yang berjudul The Rule of Metaphor, Le
Conflit des interpretation, Essais d’hermeneutique. Ricoeur mengarahkan
hermeneutika ke dalam kegiatan penafsiran dan pemahaman terhadap teks (textual
exegesis). Menurut beliau,pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah
interpretasi terhadap interpretasi. Bahkan hidup itu sendiri adalah interpretasi.
Sehingga jika terdapat pluralitas makna, maka di situ interpretasi
dibutuhkan" (Sumaryono, 1999:105). Setiap
interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung
atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung
dalam makna kasusastraan (Subiyantoro,2006:96).
Ricoeur mendefinisikan hermeneutika sebagai kajian
untuk menyingkapkan makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak ruang dan
waktu dari pembaca. Namun, sebagaimana Hans-Georg Gadamer yang mewakili tradisi
hermeneutika filosofis, Paul Ricoeur juga menganggap bahwa "seiring
perjalanan waktu niat awal dari penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai
acuan utama dalam memahami teks" (Ricoeur,2003:203). Melalui bukunya, De
l'interpretation (1965), Paul Ricoeur mengatakan bahwa hermeneutika
merupakan teori mengenai aturan-aturan penafsiran, yaitu penafsiran terhadap
teks tertentu, atau tanda, atau simbol, yang dianggap sebagai teks. Tugas utama
hermeneutika ialah mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di
dalam sebuah teks, dan juga mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk
memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan teks itu muncul ke permukaan (Sumaryono,
1999:105).
Interpretasi menurut Ricoeur dapat dilakukan dengan
cara perjuangan melawan distansi kultural, yaitu penafsir harus mengambil jarak
agar ia dapat melakukan interpretasi dengan baik. Namun, yang dimaksudkan Paul
Ricoeur dengan distansi kultural itu tidaklah steril dari anggapan-anggapan. Di
samping itu, yang dimaksudkan dengan mengambil jarak terhadap peristiwa sejarah
dan budaya tidak berarti seseorang bekerja dengan tangan kosong. Posisi pembaca
bekerja tidak dengan "tangan kosong" ini, seperti halnya posisi karya
sastra itu sendiri yang tidak dicipta dalam keadaan kekosongan budaya. Akan
tetapi, seorang pembaca atau penafsir itu masih membawa sesuatu yang oleh
Heideger disebut vorhabe (apa yang ia miliki), vorsicht (apa yang
ia lihat), dan vorgrif (apa yang akan menjadi konsepnya kemudian). Hal
itu artinya, seseorangdalam interpretasi tidaklah dapat menghindarkan diri dari
prasangka (Sumaryono, 1999:106-107).
Hermeneutika Ricoeur dibangun berdasarkan tiga teras
penting yaitu, filsafat eksistensialisme Gabriel Marcel, Karl Jaspers dan
Heidegger. Disini hermeneutika dikaitkan dengan dorongan kodrati manusia untuk
bereksistensi melalui bahasa yang terjelma menjadi filsafat, ilmu pengetahuan,
agama, seni, kebudayaan, sastra dll. Kemudian dasar-dasar filsafat tentang
eksistensi tersebut dipadukan dengan fenomenologi Husserl. Paduan dua arus
besar pemikiran modern diperkuat dengan pemikiran Ricoeur sendiri mengenai
arkeologi dan eskatologi. Oleh karena itu, hermeneutika Ricoeur dibangun atas
pemikiran bagaimana aku yang berfikir (cogito)
harus mengada untuk mengatasi pemikiran yang idealistik,subjektif dan
solipsistik (Hadi,2008:52).
Hermeneutika bagi Ricoeur merupakan strategi terbaik
dalam menafsirkan teks-teks filsafat dan sastra. Penafsiran terhadap sastra
harus dilakukan dengan membedakan antara bahasa puitik yang hakikatnya bersifat
simbolis dan metaforikal dengan bahasa diskursif nonsastra yang tidak simbolik.
Menurutnya, ada tiga ciri utama bahasa sastra yang perlu diperhatikan dalam
hermeneutika, antara lain:
· Bahasa sastra dan uraian filsafat bersifat simbolik,
puitik dan konseptual. Didalamnya, kita tidak dapat memberikan makna
referensial terhadap karya sastra dan filsafat sebagaimana teks yang
menggunakan bahasa penuturan biasa. Bahasa sastra menyampaikan makna simbolik
melalui citra-citra dan metafora yang dapat dicekap oleh indera. Sedangkan
bahasa bukan sastra berusaha menjauhkan bahasa atau kata-kata dari dunia makna
yang luas.
· Dalam bahasa sastra, pasangan rasa dan kesadaran
menghasilkan objek estetik yang terikat pada dirinya. Penandaan harus dilakukan
dan tanda harus diselami maknanya, karena tidak dapat dibaca sekilas. Tanda
dalam bahasa sastra simbolik sastra mesti dipahami sebagai sesuatu yang
mempunyai peran konotatif, metaforikal dan sugestif.
· Bahasa sastra dalam kodratnya memberikan pengalaman
fiksional yaitu suatu pengalaman yang pada hakikatnya lebih kuat dalam
menggambarkan ekspresi tentang kehidupan. Oleh karena itu, bahasa sastra yang
puitik tidak memberikan kemungkinan bagi pembaca untuk mengalami dan memahami
secara langsung apa yang disajikan. Sehingga hermeneutika sangat diperlukan
(Hadi,2008:55-56).
Dalam pemikirannya Ricoeur menambahkan bahwa setiap
teks memiliki komponen, struktur bahasa, dan semantik yang berbeda-beda. Oleh
karena itu, setiap teks sastra memerlukan model hermeneutika yang berbeda-beda.
Ricoeur merinci prosedur umumnya, yaitu pertama,
teks harus dibaca dengan penuh kesungguhan dengan menggunakan iamjiansi
yang penuh rasa simpati. Kedua, orang
yang menggunakan strategi hermeneutika mesti terlibat dalam analisis struktural
bahasa teks, kemudian menentukan tanda-tanda simbolik yang penting didalamnya
dengan tujuan menyingkap makna batin tersembunyi. Setelah itu baru menentukan
rujukan dan konteks dari simbol-simbol yang menonjol. Dia juga harus dapat
membedakan metafora dan simbol, karena keduanya merupakan peralatan penting
sastra yang membuatnya berbeda dari wacana ilmiah. Ketiga, seorang ahli hermeneutika mesti melihat bahwa segala
sesuatu yang berhubungan dengan makna dan gagasan dalam teks merupakan
pengalaman tentang kenyataan non-bahasa yang dinyatakan dalam bahasa
(Hadi,2008:58).
Dengan demikian pemikiran
Ricoeur dianggaps ebagai mediator antara hermeneutika romantik ke hermeneutika
filosofis dan juga memperpadukan dua tradisi filsafat yang berbeda yaitu
fenomenalogi Jerman dan strukturalisme Prancis.
Rujukan:
Hadi,Abdul.2008.Hermeneutika
Sastra Barat dan Timur. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional
Hamidi, Jazim.2007.Hermeneutika
Hukum (Sejarah Filsafat dan Metode Hukum). Malang: UB Press
Ricoeur, Paul. 2003. dalam Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Terj.
Ahmad Norma Permata.Yogyakarta:Fajar Pustaka
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius
[1] Istilah
ini merupakan istilah yang berasal dari Imanuel Kant yang mengacu pada suatu
yang harus dipenuhi lebih dulu agar suatu bentuk pengetahuan sahih.