ABSTRAK: Sejak zaman
pemerintahan kerajaan Singhasari, Majapahit, hingga Kadipaten Blitar, Blitar
telah menjadi sebuah tempat yang sangat berperan penting dalam bidang politik
kerajaan. Banyak bukti-bukti sejarah dari kerajaan Singhasari yang dibangun di
Blitar. Bukti-bukti tersebut menyebar di berbagai tempat di kabupaten Blitar.
Pada zaman dulu (namun masih bertahan hingga sekarang), daerah Blitar merupakan
daerah lintasan antara Dhoho (Kediri) dengan Tumapel (Malang) yang paling cepat
dan mudah. Di sinilah peranan penting yang dimiliki Blitar, yaitu daerah yang
menguasai jalur transportasi antara dua daerah yang saling bersaing (Panjalu
dan Jenggala serta Dhoho dan Singosari). Meski di Blitar sendiri sebenarnya
tidak pernah berdiri sebuah pemerintahan kerajaan. Akan tetapi, keberadaan
belasan prasasti dan candi menunjukkan Blitar memiliki posisi geopolitik yang
penting. Kendati kerajaan di sekitar Blitar lahir dan runtuh silih berganti, Blitar
selalu menjadi kawasan penting. Tidak mengherankan jika di Blitar terdapat
setidaknya 12 buah candi. Pada masa “kepemimpinan” Djoko Kandung, atau Adipati
Aryo Blitar III, pada sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura
Hadiningrat, pimpinan Raja Amangkurat , Blitar pun jatuh ke tangan penjajah
Belanda. Karena, Raja Amangkurat menghadiahkan Blitar sebagai daerah
kekuasaannya kepada Belanda yang dianggap telah berjasa karena membantu
Amangkurat dalam perang saudara termasuk perang dengan Aryo Blitar III, yang
berupaya merebut kekuasaannya. Blitar pun kemudian beralih kedalam genggaman
kekuasaan Belanda, yang sekaligus mengakhiri eksistensi Kadipaten Blitar
sebagai daerah pradikan.
Kata kunci:
sejarah, adipati, Blitar
Dahulu Bangsa Tartar dari asia timur sempat menguasai tanah
Blitar, yang kala itu belum bernama Blitar. Majapahit sebagai penguasa
nusantara merasa perlu untuk merebutnya. Kerajaan adidaya itu mengutus
Niluswara untuk memukul mundur Bangsa Tartar.Keberuntungan berpihak pada
Niluswara. ia dapat memaksa mundur pendudukan bangsa dari Mongolia itu. Atas jasanya, ia akhirnya dianugerahi gelar Adipati
Aryo Blitar I dan memimpin Blitar. Ia menamakan tanah yang berhasil ia bebaskan
dengan nama Balitar yang berarti kembalinya bangsa Tartar. Namun pada
perkembangannya, terjadi konflik antara Aryo Blitar I dengan Ki Sengguruh
Kinareja seorang patih Kadipaten Blitar.Namun keberuntungan kini beralih. Aryo
Blitar I lengser dan Sengguruh meraih tahta dengan gelar Adipati Aryo Blitar
II. Pemberontakan kembali terjadi. Aryo Blitar II dipaksa turun oleh Djoko
Kandung yang merupakan anak dari Aryo Blitar I. Djoko Kandung adalah anak hasil
perkawinan antara Aryo Blitar I dengan Dewi Rayung Wulan.
¹ Universitas Negeri Malang, Minggirsari,
Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar.
Kepemimpinan Djoko Kandung dihentikan oleh kedatangan bangsa
Belanda di bumi pertiwi.Sebenarnya rakyat Blitar yang multi etnis saat itu
telah melakukan perlawanan. Tapi, perlawanan itu diredam oleh Belanda dengan
membuat peraturan baru.
Cerita diatas menggambarkan
bahwa wilayah Blitar mempunyai peranan penting pada masa kerajaan Singhasari
hingga Majapahit. Blitar menyimpan cerita sejarah yang banyak dan belum kita
ketahui. Diantaranya yaitu sejarah kehidupan Blitar pada masa kepemimpinan
Adipati Arya Blitar. Dalam artikel ini akan membahas tentang sejarah adipati
Arya Blitar pada masa itu. Dengan berbagai referensi yang ada, artikel ini akan
menjabarkan secara luas bagaimana keadaan Blitar pada masa kepemimpinan Adipati
Arya Blitar.
KEADAAN BLITAR
PADA MASA KERAJAAN SINGHASARI
Dari
raja-raja Singhasari, Kertanegaralah yang paling diketahui riwayatnya, dan
pemerintahan Kertanegara pula yang paling banyak peristiwanya. Dalam bidang
keagamaan ia sangat menonjol dan sangat dikenal sebagai seorang penganut agama
Budha Tantrayana. Dia mengangkat seorang dharmadyaksa ri kasogatan (kepala
agama Budha).
Pada awal pemerintahannya ia berhasil
memadamkan pemberontakan Kalanaya Bhaya (Cayaraja). Dalam pemberontakan itu
Kalanaya Bhaya mati terbunuh. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1270. Dalam ilmu
politiknya, Kertanegara mencita-citakan kekuasaan yang meliputi daerah-daerah
disekitar Singhasari sampai seluas mungkin. Sehingga demi cita-citanya itu, ia
menyingkirkan tokoh-tokoh yang mungkin menentang atau menjadi penghalang.
Mula-mula ia membunuh patihnya sendiri yang bernama Kebo Arema atau Raganata,
ia ganti dengan Kebo Tengah atau Aragani. Raganata dijadikan Adhyaksa di
Tumapel. Kemudian seorang yang kurang dipercaya karena terlalu dekat kepada
Kadiri, bernama Banak Wide, dijauhkan dengan pengangkatan menjadi bupati di
Sumenep (Madura) dengan gelar Aryawiraraja. Pada tahun 1275, Kertanegara
mengembangkan sayapnya ke Sumatera Tengah. Pengiriman pasukan kesana yang
terkenal dengan nama Pamalayu, berlangsung sampai tahun 1292 (Soekmono, 1973:
64).
Tindakan Raja Kertanegara untuk meluaskan
kekuasaanya ke luar Jawa itu rupa-rupanya didorong oleh ancaman dari Cina.
Dimana pada tahun 1260 berkuasa kaisar Shih-tsu Khubilaikhan yang pada tahun
1260 mendirikan dinasti Yuan. Khubilai Khan segera memulai dengan minta
pengakuan kekuasaan dari Negara-negara yang sebelumnya mengakui kekuasaan
raja-raja Cina dari Dinasti Sung Jawa juga tudak luput dari incaran. Utusan
Khubilai Khan mulai datang pada tahun 1280 dan 1281, menuntut supaya ada
seorang pangeran yang dikirim ke Cina sebagai tanda tunduk kepada kekaisaran
Yuan. Ancaman itulah yang mengubah pandangan raja Kertanegara yang semula hanya
diarahkan ke lingkungan pulau Jawa saja, maka menjadi sampai keluar pulau Jawa (Soejono,1993:414).
Banyak orang desa yang ribut, takut
karena kedatangan tentara Daha di kerajaan Singhasari. Banyak diantara orang
desa yang luka parah karena melawan tentara musuh. Sementara itu, banyak pula
yang lari mengungsi. Tabuh titir dibunyikan isyarat bahwa ada bahaya. Justru
itulah yang direncanakan oleh tentara Kadiri. Utusan dari Mameling datang
menghadap raja Kertanegara untuk memberitahukan bahwa tentara Kadiri telah tiba
di Mameling. Namun, sang prabu tidak percaya. Para pengungsi dari daerah utara
terus mengalir masuk kota Singhasari. Ada yang menangis, ada yang luka parah, ada
pula yang harus digendong. Melihat mereka itu, barulah raja Kertanegara percaya
akan kebenaran tentang kedatangan tentara musuh. Segera Raden Wijaya dipanggil
dan diperintahkan berangkat menuju Mameling, memimpin tentara Singhasari. Tipu
muslihat raja Jayakatwang berhasil menurut rencana. Tentara Singhasari berhasil
dipancing musuh. Setelah Raden Wijaya berangkat dengan tentaranya, segera raja
Kertanegara memerintahkan Kyai Patih Kebo Anenga untuk menyusul ke Mameling,
karena ia khawatir kalau-kalau Raden Wijaya kewalahan melawan tantara musuh.
Adhyaksa Raganata dan mantra Angabhaya Wirakreti memperingatkan sang prabu
bahwa tindakan itu kurang bijaksana. Dengan berangkatnya Patih Kebo Anenga,
kota Singhasari tidak terjaga. Bahaya mudah mengancam kota Singhasari.
Sementara itu, Kertanegara tinggal di pura, mengenyam kenikmatan hidup,
seolah-olah tidak ada bahaya mengancam, dihadap oleh patih Angragani. Bala
tentara Kadiri telah masuk pura Singhasari dari selatan melalui Lawor terus
menuju ke Sidabawana, dibawah pimpinan Kebo Mundrang. Raganata dan Wirakreti
tergopoh-gopoh memberi tahu sang prabu bahwa tentara musuh telah datang.
Raja Kertanegara beserta Panji Angragani,
Mpu Raganata dan mantra Angabaya Wirakreti gugur dalam perlawanan gigih
terhadap tentara Kadiri, yang datang menyerbu Pura Singhasari. Mendengar sorak
sorai tentara musuh di Manguntur, Mahisa Anengah yang diperintahkan menyusul
Raden Wijaya ke jurusan utara segera membalik, kembali menuju Pura Singasari,
dengan maksud untuk menyelamatkan Prabu Kertanegara. Namun telah terlambat.
Perlawanan gigih terhadap tentara musuh tidak berhasil. Mahisa Anengah beserta
tentaranya gugur juga dalam pertempuran. Masa kejayaan Kertanegara, raja
Singasari terakhir, berakhir tragis dan menyedihkan. Jayakatwang dan
pemberontak itu, berhasil mencapai tujuannya dengan cara keji (Suyono, 2003:
9-10).
KEADAAN BLITAR
PADA MASA KERAJAAN MAJAPAHIT
Blitarlah yang mengawasi lalu-lintas ini
hingga Blitar mendapatkan kedudukan yang boleh dikata istimewa. Ini dapat
dilihat dari adanya banyak prasasti dan bangunan suci di Blitar yang hampir
semua memberikan hadiah bebas pajak kepada desa-desa. Desa-desa ini disebut
Sima. Walaupun bebas pajak namun, Sima ini dibebani tugas istimewa yang
berhubungan dengan banungunan suci atau dengan raja berdasarkan atas
pertimbangan ekonomis (Soekmono, 1973). Nampaknya raja-raja sejak Balitung
sampai jatuhnya kerajaan Majapahit, berkepentingan di daerah Blitar ini. Bahkan
Raja terbesar Majapahit Hayam Wuruk, selama pemerintahanya tidak kurang dari
tiga kali mengelilingi Blitar. Bahwa seorang raja yang berstatus prabu
(maharaja) seperti Hayam Wuruk itu sampai berkali-kali pergi ke Blitar. Maka arti penting Blitar tidak dapat begitu
saja diabaikan.
Di dalam Kitab Nagarakertagama Pupuh I : 4-5 pada tahun 1334 M Gunung Kampud
(Gunung Kelud sekarang) meletus, dengan kilat dan guntur bersambungan di udara,
hujan abu serta gempa bumi yang sebenarnya pertanda kelahiran seorang bayi
sebagai Putra Mahkota Hayam Wuruk (Slamet Mulyana; 1979). Biasanya masa lalu,
apabila ada kelahiran seorang anak (putra mahkota) yang lahir ke dunia kemudian
“disertai alam berontak” (seperti gempa bumi, air bah dan sebagainya). Itu akan
menjadi seorang raja yang adigdaya (memiliki kekuatan supranatural tinggi).
Pada tahun 1350 M, putra mahkota Hayam
Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit. Ia bergelar Sri Rajasanagara, dan
dikenal pula dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Ketika ibunya Tribhuwanatunggadewi
masih memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi raja muda dan mendapat
daerah Jiwana sebagai daerah lungguhnya. Dalam menjalankan pemerintahannya
Hayam Wuruk didampingi oleh Gajah Mada yang menduduki jabatan Patih
Hamangkubhumi. Jabatan ini sebenarnya sudah diperoleh ketika ia mengabdi kepada
raja Tribhuwanattunggadewi, yaitu setelah ia berhasil menumpas pemberontakan di
sadeng. Dengan bantuan Patih Hamangkubhumi Gajah Mada, raja Hayam Wuruk
berhasil membawa kerajaan Majapahit ke puncak kejayaannya. Seperti halnya raja
Kertanegara yang mempunyai gagasan politik perluasan cakrawala mandala yang
meliputi seluruh Dwipantara, Gajah Mada ingin melaksanakan pula gagasan politik
nusantaranya yang telah dicetuskan sebagai Sumpah Palapa di hadapan raja
Tribhuwanattunggadewi dan para pembesar kerajaan Majapahit. Dalam rangka
menjalankan politik nusantaranya itu satu demi satu daerah-daerah yang belum
bernaung di bawah panji kekuasaan Majapahit ditundukkan dan dipersatukannya.
Dari pemberitaan Prapanca di dalam Kakawin Nagarakertagama
dapat diketahui bahwa daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaan Majapahit itu
sangat luas. Politik Nusantara ini berakhir sampai tahun 1357 M, dengan
terjadinya peristiwa di Bubat, yaitu perang antara orang Sunda dan Majapahit.
Kitab Pararaton masih menyebutkan pula adanya ekspedisi ke Dempo dalam th 1357
M, yang bersamaan dengan terjadinya peristiwa di Bubad (Drs. Haris Daryono Ali
Haji, SH, MM, 2009: 54).
Dari kitab Pararaton kita mengetahui,
bahwa setelah peristiwa bubat berakhir kemudian Gajah Mada Mukti Palapa, mengundurkan diri dari dari jabatannya. Beberapa
waktu kemudian ia aktif kembali dalam pemerintahan, tetapi tidak ada keterangan
lebih lanjut mengenai program politik Nusantaranya setelah peristiwa Bubat. Di
dalam Kakawin Nagarakertagama,
disebutkan bahwa raja Hayam Wuruk pernah menganugerahkan sebuah Sima kepada
Gajah Mada, yang kemudian diberi nama Darma Kasogatama Madakaripura. Pada waktu
Hayam Wuruk mengadakan perjalanan ke Lumajang, ia singgah di Sima Darma
Kasogatama Madakaripura dan menempati pesanggrahannya. Sima Madakaripura ini
agaknya kemudian berkembang menjadi desa sima yang cukup pada abad XVI (Slamet
Muljana, 1979:139)
Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan
Majapahit carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti dan
Sengkuni. Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa
Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada.
Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan
selamat. Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati.
Oleh karena sambutan hangat dan perlindungan ketat yang diberikan penduduk Desa
Bedander, maka Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti kepada para penduduk
desa tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa pemberian prasasti ini merupakan
peristiwa penting karena menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah
naungan Kerajaan Majapahit. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari
Minggu Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi, sesuai
dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhirnya
diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Blitar setiap tahunnya
(http://blitarian.com/content/view/70/43//).
SEJARAH
ADIPATI ARYA BLITAR PADA MASA KADIPATEN BLITAR
Seperti diketahui, menurut sejumlah buku
sejarah, terutama buku Bale Latar, Blitar didirikan pada sekitar abad ke-15.
Nilasuwarna atau Gusti Sudomo, anak dari Adipati Wilatika Tuban, adalah orang
kepercayaan Kerajaan Majapahit, yang diyakini sebagai tokoh yang mbabat alas.
Sesuai dengan sejarahnya, Blitar dahulu adalah hamparan hutan yang masih belum
terjamah manusia. Nilasuwarna, ketika itu, mengemban tugas dari Majapahit untuk
menumpas pasukan Tartar yang bersembunyi di dalam hutan selatan (Blitar dan
sekitarnya). Sebab, bala tentara Tartar itu telah melakukan sejumlah
pemberontakan yang dapat mengancam eksistensi Kerajaan Majapahit. Singkat
cerita, Nilasuwarna pun telah berhasil menunaikan tugasnya dengan baik Bala
pasukan Tartar yang bersembunyi di hutan selatan, dapat dikalahkan.
Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, oleh
Majapahit, Nilasuwarna diberikan hadiah untuk mengelola hutan selatan, yakni
medan perang yang dipergunakannya melawan bala tentara Tartar yang telah
berhasil dia taklukkan. Lebih daripada itu, Nilasuwarna kemudian juga
dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar I dengan daerah kekuasaan di hutan
selatan. Kawasan hutan selatan inilah , yang dalam perjalanannya kemudian
dinamakan oleh Adipati Ariyo Blitar I sebagai Balitar (Bali Tartar). Nama
tersebut adalah sebagai tanda atau pangenget untuk mengenang keberhasilannya
menaklukkan hutan tersebut. Sejak itu, Adipati Ariyo Blitar I mulai menjalankan
kepemimpinan di bawah Kerajaan Majapahit dengan baik. Dia menikah dengan Gutri
atau Dewi Rayung Wulan, dan dianugerahi anak Djoko Kandung. Namun, di tengah
perjalanan kepemimpinan Ariyo Blitar I , terjadi sebuah pemberontakan yang
dilakukan oleh Ki Sengguruh Kinareja, yang tidak lain adalah Patih Kadipaten
Blitar sendiri. Ki Sengguruh pun berhasil merebut kekuasaan dari tangan Adipati
Ariyo Blitar I, yang dalam pertempuran dengan Sengguruh dikabarkan tewas.
Selanjutnya Sengguruh memimpin Kadipaten Blitar dengan gelar Adipati Ariyo
Blitar II. Selain itu, dia juga bermaksud menikahi Dewi Rayungwulan. Mengetahui
bahwa ayah kandungnya (Adipati Ariyo Blitar I) dibunuh oleh Sengguruh atau
Adipati Ariyo Blitar II maka Djoko Kandung pun membuat perhitungan. Dia
kemudian melaksanakan pemberontakan atas Ariyo Blitar II, dan berhasil. Djoko
Kandung kemudian dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar III. Namun sayangnya
dalam sejarah tercatat bahwa Joko Kandung tidak pernah mau menerima tahta itu,
kendati secara de facto dia tetap memimpin warga Kadipaten Blitar.
Pada masa “kepemimpinan” Djoko Kandung,
atau Adipati Ariyo Blitar III, pada sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan
Kartasura Hadiningrat, pimpinan Raja Amangkurat , Blitar pun jatuh ke tangan
penjajah Belanda. Karena, Raja Amangkurat menhadiahkan Blitar sebagai daerah
kekuasaannya kepada Belanda yang dianggap telah berjasa karena membantu
Amangkurat dalam perang saudara termasuk perang dengan Ariyo Blitar III, yang
berupaya merebut kekuasaannya.Blitar pun kemudian beralih kedalam genggaman
kekuasaan Belanda, yang sekaligus mengakhiri eksistensi Kadipaten Blitar
sebagai daerah pradikan(http://www.trucuriwindows.net/trucurivideo/video/2v-3Ff9V0tk/Makam-Arya-Blitar-Penguasa-Pertama-Kadipaten-Blitar.html).
KESIMPULAN
· Blitar
mempunyai kedudukan yang sangat penting sejak masa kerajaan Majapahit hingga
kepemerintahan Adipati Arya Blitar. Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, oleh
Majapahit, Nilasuwarna diberikan hadiah untuk mengelola hutan selatan, yakni
medan perang yang dipergunakannya melawan bala tentara Tartar yang telah
berhasil dia taklukkan. Lebih daripada itu, Nilasuwarna kemudian juga
dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar I dengan daerah kekuasaan di hutan
selatan. Kawasan hutan selatan inilah , yang dalam perjalanannya kemudian
dinamakan oleh Adipati Ariyo Blitar I sebagai Balitar (Bali Tartar).
· Di
tengah perjalanan kepemimpinan Ariyo Blitar I , terjadi sebuah pemberontakan
yang dilakukan oleh Ki Sengguruh Kinareja, yang tidak lain adalah Patih
Kadipaten Blitar sendiri. Ki Sengguruh pun berhasil merebut kekuasaan dari
tangan Adipati Ariyo Blitar.
· Pada
masa “kepemimpinan” Djoko Kandung, atau Adipati Ariyo Blitar III, pada sekitar
tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat, pimpinan Raja
Amangkurat , Blitar pun jatuh ke tangan penjajah Belanda.
DAFTAR RUJUKAN
Drs.
Ali Haji, Haris Daryono. 2006. Dari
Majapahit Menuju Pondok Pesantren. Yogyakarta: Bagaskara
Muljana,
Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan.
Yogyakarta: LkiS
Muljana,
Slamet. 1979. Nagara Kretagama dan Tafsir
Sejarahnya. Jakarta: Bhatara Karya Aksara
Soekmono.
1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia
Jilid 2. Yogyakarta: Kanisius
Soekmono.1993.
Sejarah Nasional Indonesia Jilid 2.
Jakarta: Balai Pustaka
Suyono.
2003. Peperangan Kerajaan di Nusantara.
Jakarta: Grasindo
http://www.trucuriwindows.net/trucurivideo/video/2v-3Ff9V0tk/Makam-Arya-Blitar-Penguasa-Pertama-Kadipaten-Blitar.html:
diakses pada tanggal 30 Mei 2011 jam 09.15 WIB).
http://blitarian.com/content/view/70/43//:
diakses pada tanggal 31 Mei 2011 pada jam 10.00 WIB .