OM SONATA:
Pergeseran Musik Dangdut Tradisional
(Melayu) ke Musik Dangdut Kontemporer (Dangdut Koplo)
100731403625 / offr D
Abstract
Indonesia
is rich in various kinds of offerings performances. Soedarsono performing arts
classify music into two groups, namely local music and diatonic music. Areas
include gamelan music and non-gamelan music, while music covers diatonic
diatonic folk music, Indonesian music and Western music. From this
classification, it can be understood that the dangdut music, is one of the
types of musical performances in Indonesia. Listening to different kinds of
music performances, perhaps it can be said that there is no live music more
popular than dangdut music performance. This popularity can be observed both by
the many writings and broadcast in various media about dangdut, and the flood
of visitors at the show musiktersebut. The presence of dangdut music in
Indonesia, has also attracted the attention of many walks of life. Today the
development of dangdut music in Indonesia is moving forward. It can be seen
from the various types, rhythm, and equipment used. In terms of audience,
dangdut music is one that seems to have a place in the hearts of the public. It
is seen how crowded the audience when there is live music dangdut.
Kata
Kunci: Musik Dangdut, OM SONATA, Kontemporer
Latar Belakang
Menurut Lohanda (1983:139-140), bahwa
irama dangdut muncul dan
dikenal di tahun
1960-an dengan pemunculan Ellya
Khadam, dengan hit-nya
“Boneka dari India”.
Penamaan irama dangdut diperkirakan merupakan suatu
anomatophea. Pendapat senada, Simatupang (1996:62) menyatakan, “The term itself (dangdut) was derived from
the sound of a pair of small drums played in this particular music”. Juga
Djuanda (1998:t.h) mengemukakan, “ The
Dangdut (pronounced as “dank doot” in English)
is typically Indonesian. This music
is derived from orkes Melayu (=Malay Orchestra). The term of The dangdut is
derived from the percussion sound (“tra-dunk-dunk”) = Dang and the longer beat
followed (“doot”)=Dut.
Sementara itu, Frederick, (1982:83),
mengatakan bahwa musik dangdut seringkali dilecehkan, dicap imitasi, tanpa
identitas, dan tidak bermutu. Namun demikian, musik ini paling mengena di hati
rakyat kecil yang tertindas kehidupan ekonominya, lapisan masyarakat yang masih
hidup dalam angan-angan yang nyaris hampa (Harsono,1988:10). Ditinjau liriknya,
musik dangdut berkisah tentang perjuangan hidup, hak asasi manusia,
jurang pemisah ekonomi antara si kaya
dengan si miskin, memiliki kekuatan
menyoroti kehidupan sosial masyarakat
Indonesia.
Dangdut adalah “bahasa” yang sudah
melekat dengan rakyat kecil. Musik dangdut mendapat pengaruh dari kebudayaan Arab, Melayu, India,
dan juga pengaruh warna rock
(musik Oma Irama)( Paper
dan Jabo,1987:10).
Melihat pertumbuhan dan perkembangan
musik dangdut di Indonesia,
tentunya tidak terlepas dari berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Seperti dikatakan bahwa perkembangan seni banyak dipengaruhi
oleh berbagai faktor non-estetis seperti politik, religi , sosial, dan
sebagainya (Soedarsono,1998:83). Juga Kesumah, et al .,(1995:2) mengatakan
bahwa musik diciptakan sebagai tuntunan masyarakat yang menggambarkan keadaan
suatu jaman. Artinya, bahwa musik dan proses terjadinya musik juga ditentukan
oleh aspirasi masyarakat yang hidup pada
saat itu.
Menyimak repertoar musik dangdut,
tentunya tidak dapat terlepas dari amatan terhadap berbagai elemen musiknya.
Jelasnya, kajian terhadap repertoar musik dangdut pada dasarnya merupakan sebuah
kajian tentang bentuk dan struktur
musik, pola harmonisasi, orkestrasi, gaya, organologi, dan sejumlah komponen musik lainnya.
Pada penelitian sebelumnya yakni
penelitian yang dilakukan oleh Peneliti
sejarah budaya di majalah Akar dan anggota peneliti budaya di FIB UI,
Depok yang berjudul DANGDUTNYA RHOMA IRAMA: Kemempelaian Musik
(Melayu-Rock) dan Dakwah dinyatakan bahwa Dangdut Rhoma Irama bukan musik
musiman. Dangdutnya sejalan dengan perubahan dan mempengaruhi zaman. Terbukti
dengan musikalitasnya yang terus bermutakhir dan liriknya yang kritis dan
berpesan moral. Proses pembaruan musik Melayu konvensional dilakukan Rhoma
Irama secara bertahap. Mulai dari penggantian alat-alat musik konvensional
musik Melayu (lama) dengan alat-alat musik elektrik. Menggunakan bentuk
panggung yang lebih megah.
Dalam penelitian dosen Jurusan
Sendratasik FBS Universitas Negeri Semarang. yang bernama Moh. Muttaqin yang
berjudul “PERSEPSI REMAJA KOTA SEMARANG TERHADAP MUSIK DANGDUT” di jelaskan
bahwa remaja kota Semarang
baik yang tinggal
di pinggiran maupun
pusat kota memiliki persepsi yang cukup baik terhadap musik dangdut serta ada perbedaan
persepsi yang sangat signifikan antara
remaja yang tinggal di
pusat/tengah kota dengan yang tinggal di
pinggiran kota terhadap musik dangdut.
Melihat adanya berbagai uraian di atas peneliti
memilih group OM. SONATA untuk dijadikan sumber penelitian karena group ini
merupakan group musik dangdut yang menampilkan ciri khas tersendiri yaitu
adanya kombinasi musik tradisional (jaranan) dan dangdut. OM. SONATA juga
sangat terkenal di berbagai daerah Jawa Timur dan minimnya para generasi muda
yang meneliti tentang musik dangdut, maka penulis tertarik untuk membuat sebuah
artikel yang berjudul “OM SONATA: Pergeseran Musik Dangdut Tradisional (Melayu)
ke Musik Dangdut Kontemporer (Dangdut Koplo)”. Tujuan dari pembuatan artikel
penelitian ini adalah untuk mengungkapkan bagaimana pergeseran musik dangdut
dari musik tradisional hingga ke musik kontemporer (dangdut koplo).
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
pergeseran musik dangdut dari musik melayu ke musik dangdut kontemporer
(dangdut koplo)?
2. Bagaimanakah
komposisi syair lagu dalam musik dangdut kontemporer (dangdut koplo) saat ini?
3. Bagaimanakah
penampilan dari penyanyi dangdut pada pertunjukan dangdut kontemporer (dangdut
koplo) saat ini?
Tujuan
1. Untuk
menjelaskan pergeseran musik dangdut dari musik melayu ke musik dangdut
kontemporer (dangdut koplo).
2. Untuk
mendiskripsikan komposisi syair lagu dalam musik dangdut kontemporer (dangdut
koplo) saat ini.
3. Untuk
mendiskripsikan bagaimana penampilan dari penyanyi dangdut pada pertunjukan
dangdut kontemporer (dangdut koplo) saat ini.
Metode
Di dalam penulisan artikel penelitian
ini penulis menggunakan dua metode yaitu metode kajian pustaka dan metode
wawancara. Langkah-langkah yang digunakan di dalam metode kajian pustaka ini
adalah pertama-tama penulis mencari buku tentang permasalahan atau tema yang
terkait dengan judul artikel penelitian yang akan dibuat. Setelah selesai
mengumpulkan buku-buku yang akan dijadikan referensi maka penulis membaca
buku-buku tersebut dan mengambil informasi yang ada di dalam isi buku itu untuk
dijadikan data di dalam penelitian. Sedangkan langkah-langkah yang penulis
gunakan dalam metode wawancara adalah dengan menyusun daftar pertanyaan,
berikutnya menentukan siapa saja yang akan dijadikan informan, kemudian penulis
melakukan wawancara dengan bapak Edy Sugioto selaku pimpinan OM SONATA Kota
Jombang. Data dari hasil wawancara ini kemudian dikumpulkan dan kemudian
dirangkai menjadi suatu karya ilmiah yang berupa artikel penelitian.
Hasil Penelitian dan
Pembahasan
Pergeseran Musik
Dangdut Dari Musik Melayu Ke Musik Dangdut Kontemporer (Dangdut Koplo).
Istilah “orkes Melayu” mulai muncul di
Indonesia dalam catatan-catatan radio pada akhir 1930-an. Orkest Melajoe Sinar
Medan (pimpinan Abdul Halim), dari Batavia memainkan lagu Melayu yang diiringi
dengan instrumen Eropa. Mereka mempertahankan karakteristik musikal Melayu,
termasuk struktur pantun, frase-frase melodik jenis standar, serta kata-kata
dan frase imbuhan. Gaya vocalnya melengking mirip ronggeng, dan iringan paduan
suara laki-laki menimpali dengan senggakan untuk menyemangati penyanyi. Setelah
kemerdekaan 1945, para musisi mengusung sensibilitas kreatif baru ke dalam
orkes Melayu, khususnya di kawasan urban Medan, Jakarta, dan Surabaya. Selain
memainkan musik hibrida, ensambel di Jakarta dan surabaya mengambil melodi film
India dan menggubah melodi baru berdasarkan melodi itu, memuluskan jalan bagi
kemunculan dangdut. Dekade 1950-an mewakili saling pengaruh multikultural yang
mendalam antara bunyi Melayu, Arab, India, Amerika Latin, dan Eropa yang
beredar dalam musik populer.
Realitas politik, sosial, dan ekonomi
baru merangsang maraknya musik populer Amerika dan Inggris sesudah Soeharto
merebut singgasana kekuasaan pada tahun 1966-1967. Kudeta yang mengantarakan
datangnya Orde Baru telah membukakan Indonesia terhadap sekpansi industri yang
tiada henti, kapitalisme gaya barat, komodifikasi intensif, dan budaya
konsumerisme. Berkat teknologi elektronik baru, musik berbentuk rekaman kaset
dapat menjangkau daerah-daerah yang jauh dari pusat-pusat produksi di
perkotaan. Berbagai bentuk promosi inovatif, film, papan reklame, dan majalah
menumbuhkan minat terhadap kehidupan sosial para penghibur dan selebriti.
Cara-cara baru dalam menampilkan musik di konser, festival, dan pekan raya yang
terbuka untuk umum di kota-kota besar telah memasyarakatkan ragam-ragam musik
rock dan musik pop yang baru muncul. Regulasi penyiaran radio dicabut, dan
ratusan stasiun radio amatir, yang banyak diantaranya dikelola mahasiswa,
bangkit kembali pada akhir 1960-an. Etos baru konsumerisme di Indonesia telah
memberikan motivasi, dan juga sumber daya, kepada lebih banyak orang untuk
membeli berbagai produk komersil yang berkaitan dengan musik populer.
Pada awal 1970-an, musik berbasis India
yang dimainkan orkes Melayu, mengkristal menjadi “dangdut”. Anggapan tentang
dangdut sebagai musik “rakyat” golongan mayoritas di masyarakat muncul di era
ini, dan semenjak itu menjadi tema yang tak pernah pudar. Rakyat dapat
didefinisikan dengan beberapa cara. Pada zaman revolusi (1945-1949), istilah
“rakyat” mengacu pada pengikut seorang pemimpin. Dalam hal ini adalah Sukarno,
penyambung lidah rakyat dalam Orde Baru tidak ada lagi rakyat, karena Soeharto
tidak berbicara untuk atau kepada mereka. Betapa pun pemahaman populer tentang
rakyat masih bertahan, rakyat sebagai sosok-sosok lagu yang unggul secara
moral, lemah secara ekonomi, tapi berdaulat secara politis, yang sering
menderita ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kaum kaya dan berkuasa. Pada
1970-an, kalangan pendengar dangdut menempati lapisan bawah dalam struktur
politik dan ekonomi, serta digambarkan dalam berbagai artikel majalah dan koran
pada masa itu sebagai rakyat kecil, rakyat jelata, rakyat gembel, golongan
bawah, pinggiran dan kaum menengah bawah.
Persambungan antara dangdut dan rakyat
terjadi pada tiga tataran intekstual, yaitu pertama dangdut adalah rakyat,
kedua dangdut untuk rakyat, dan ketiga dangdut sebagai rakyat. Pertama,
sebagaimana digambarkan dari kacamata sosiologis, dangdut adalah musik rakyat.
Pada tataran ini, publik adalah kata benda yang dapat dihitung, dijabarkan, dan
dikerahkan. Dalam argumen yang sebagian besar ahistoris yang mencerminkan
pernyataan-pernyataan Rhoma Irama tentang musik Melayu, dangdut dikonstruksi
sebagai cerminan alami rakyat, berlawanan dengan musik pop Indonesia, rock,
jazz, atau bentuk-bentuk musik lain yang unsur-unsur musiknya sebagian besar
diimpor dari Eropa atau Amerika Serikat. Dalam narasi ini, dangdut tumbuh
secara alami dari kondisi sosial-ekonomi dan kultural konsumennya, dan
mempresentasikan kepentingan, selera, dan aspirasi mereka. Khalayak dangdut
dipandang sebagai kelompok stabil beranggotakan para penggemar setia dan
fanatik. Tetapi, pandangan representasi ini sulit dirujukkan dengan produksi
dan sirkulasi dangdut, yang dikendalikan oleh segelintir industri musik yang
manipulatif dan sebagian besar dijalankan orang-orang diluar kelompok mayoritas
penduduk. Lagi pula, bentuk-bentuk awal dangdut mengandalkan berbagai
instrumen, warna suara, dan bentuk lagu dari beragam genre musik impor. Fakta
ini menyulitkan pengertian-pengertian esensialitas tentang musik yang berasal
dari, dan dimiliki oleh, sebuah kelompok penduduk asli yang dapat
didefinisikan.
Tataran kedua, dangdut untuk rakyat,
memaparkan bagaimana aktor-aktor sosial yang berpengaruh dan lembaga komersial
secara aktif mengkonstruksi khalayak dan makna tentang rakyat. Sebelum dangdut
tercipta, tidak ada khalayak dangdut sebagai kelompok yang kepentingan kelasnya
tercermin dalam genre musik. Dangdut bukan milik sebuah kelas, sebagai kategori
atau atribut kelas itu. Alih-alih, dangdut bertindak sebagai agen penstruktur
yang membantu memproduksi makna-makna tentang rakyat di masyarakat Indonesia.
Dalam arti ini, berlangsung proses sosial di seputar musik dangdut yang
melibatkan estetika, politik, dan ekonomi baru industri media (kaset, film, dan
radio). Dalam kondisi demikian, superstar dangdut Rhoma Irama menggubah
pesan-pesan yang merakyat dengan hentakan irama goyang yang memikat kalangan
masyarakat Islam kelas bawah di perkotaan, terutama kawula muda laki-laki.dari
segi lirik lagunya, bunyi musikal, gaya pementasan, dan citraan visual, Rhoma
Irama bukan sekedar merefleksikan, tetapi aktif membentuk, berbagai makna
tentang rakyat.
Ketiga, dalam terbitan cetak populer, di
mana berbagai representasi dangdut sebagai rakyat begitu sering diproduksi.
Rakyat bukanlah kategori tunggal yang padu, bukan pula khalayak dangdut, tapi
istilah “rakyat” menyodorkan penyejajaran makna-makna berbasis kelas dan
berbasis bangsa, yang mencirikan wacana dangdut era 1970-an. Di media cetak
populer, khalayak dangdut sebagian besar absen sebagai pihak yang menulis
representasi dirinya sendiri. Dengan demikian, media cetak populer berperan
besar menampilkan apa yang mungkin dipikirkan dan diketahui tentang rakyat.
Kaum kelas menengah dan elite sudah lama berpartisipasi dalam dangdut sebagai
praktik diskursif, meskipun itu dilakukan sebagai cara untuk menjauhkan diri
mereka dari rakyat kebanyakan dan budaya yang diasosiasikan dengan musik
dangdut. Lewat pendekatan ini,penulis berupaya menyediakan pemahaman kritis
tentang musik Indonesia dan media serta konstruksi khalayak musik populer dalam
lingkup perubahan kondisi sosial dan historis Indonesia modern. Cara-cara
dangdut dihubungkan dengan makna rakyat yang bermacam-macam dan berubah-ubah
dapat membantu kita memahami bagaimana musik populer yang termediamassakan
turut berperan mengkonstruksi hakikat dan fungsi “rakyat” di Indonesia modern.
Musisi dangdut mengungkapkan tuturan
umum tentang dangdut, yang berlaku pada banyak jenis musik populer. Sementara
prosuksi dan sirkulasi dangdut dirasakan sangat dikuasai oleh industri musik
yang kuat dan manipulatif, serentak dengan itu dangdut mempresentasikan
aspirasi dan keinginan rakyat, lautan mayoritas warga negara Indonesia. Dangdut
menerangi pengertian tentang rakyat tidak saja secara langsung dari perspektif
rakyat, tapi juga melalui representasi lain seperti: dalam lagu, pernyataan para
musisi, dan cerita mengenai genre dangdut di media cetak populer. Sejak
1970-an, partai-partai politik telah menggunakan menggunakan dangdut untuk
kampanye menggalang masa dengan tujuan mempromosikan kandidat dalam pemilu di
tingkat nasional dan daerah. Namun wacana tentang dangdut sebagai sebuah bentuk
musik nasional diperkuat melalui maklumat-maklimat publik yang dikeluarkan oleh
pejabat pemerintah dan militer pada 1990-an. Dinyanyikan dalam bahasa nasional,
dan dimediasi di seantero nusantara, dangdut menjadi dikenali sebagai musik
Indonesia. Dalam model nasional-populer musik Indonesia, musik dianalisis
sebagai penanda identitas lokal atau identitas nasional.
Sesudah jatuhnya Soeharto, “dangdut
Daerah” menggenangi kencah musik lokal di banyak belahan negeri ini.
dinyanyikan dalam bahasa daerah dan dipasarkan kepada komunitas etnik tertentu,
aliran-aliran dangdut ini berkembang didaerah-daerah antara lain yaitu di
Sumatra Barat, Jawa Barat, Cirebon, dan Jawa Timur. Dangdut berbahasa daerah
bahkan memiliki kategori penghargaan tersendiri dalam ajang Anugerah Musik
Indonesia (AMI). Dangdut yang semula diasosiasikan dengan Melayu dan India pada
tahun 1970-an, dan kemudian dimaknai ulang sebagai musik nasional pada 1980-an
dan 1990-an, berkembang menjadi sesuatu yang etnik dan regional pada era
2000-an. Dangdut etnik dan dangdut daerah bertentangan dengan wacana Orde Baru
tentang dangdut sebagai musik populer nasional Indonesia par excellence. Pada 1990-an, dangdut dipandang oleh sebagian pihak
sebagai genre yang paling berpotensi untuk “go
internasional”.
Pada era Orde Baru, kebudayaan digunakan
dengan tujuan politis untuk memasyarakatkan gagasan “Bhineka Tunggal Ika”.
Representasi simbilis berbagai budaya dengan kekhasan masing-masing
dikonstruksi dan digelar di televisi nasional, dalam wacana politik nasional,
dan festival-festival nasional. Namun demikian, dalam representasi perbedaan
multikultural ini semua orang akhirnya terlihat nyaris sama. Ketidaksetaraan
sosial akibat perbedaan etnis, rasial, kelas, dan gender dikesampingkan demi
homogenitas nasional. Dalam ruang-ruang ini, yang dilambangkan oleh Taman Mini
Indonesia Indah di Jakarta, penonton diimbau untuk mengenali diri sebagai
padanan sesama warga bangsa, dan dengan cara ini perbedaan sosial disublimasi.
Dalam rumusan ini, popularitas dangdut,
dan ketertarikan antara musiknya dan mayoritas masyarakat bawah, didasarkan
pada:
1. Akar
historis dangdut dalam melodi, irama, dan gaya vocal musik populer Melayu
(orkes Melayu)
2. Liriknya
yang menggunakan bahasa Indonesia
3. Gaya
tariannya yang relatif sederhana (joget dan goyang)
4. Liriknya
yang lugas dan mudah dipahami
5. Teks
lagunya yang berkenaan dengan realitas sehari-hari orang biasa.
Cerita-cerita
tentang dangdut sebagai darah, jiwa dan suara orang Indonesia tumbuh subur pada
dekade 1970-an. Pada tahun 1979, budayawan, kiai, dan penyair, Emha Ainun
Nadjib menegur masyarakat Indonesia yang kehilangan “jiwa berdangdut” (Emha
1979), dengan merujuk dangdut sebagai “musik jiwa”. Menulis untuk kalangan
pembaca terpelajar dari kelas menengah dan elite yang dianakemaskan oleh narasi
modernitas Barat, Emha mencatat bahwa meskipun mereka berhasrat untuk maju,
semua orang Indonesia jiwanya “dangdut sekali”. Dengan membanjirnya produk
Amerika di pasar Indonesia, Emha bertanya: “ siapa [pula] kita ini, kalau bukan
si-coklat berbaju [g] bule tetapi bermental [dangdut]?” modernitas mungkin
tampak berkilau dari luar, tapi menyembunyikan setumpuk masalah sehari-hari
yang dihadapi oleh sebagian besar rakyat Indonesia, dan bisa memperparah
kesenjangan sosial. Namun demikian, dengan nawas diri, dan menghayati sejarah
budaya sendiri, masyarakat dapat memulihkan kesejatian diri mereka, dan
pulihnya jati diri dapat membantu mereka menangkal efek modernitas yang negatif
dan menular. Dangdut berada di jantung proses pencarian batin ini.
Dangdut bukan saja meresapi sanubari
orang Indonesia, tapi kekuatannya bersemayam dalam produksi ragawi badani bunyi
vokal. Dalam catatan seorang komentator, popularitas Rhoma Irama disebabkan
oleh warna suaranya, yang mengumandangkan penderitaan. Sebaliknya, musik pop
Indonesia dan rock tidak memiliki akar historis atau ciri musikal yang
mengkaitkannya dengan derita rakyat. Dangdut berkembang di
lingkungan-lingkungan urban yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi pada
akhir 1960-an dan awal 1970-an, termasuk Bangunrejo, Sunan Kuning, dan planet
Senen. Dangdut memikat tukang becak dan sopir bajaj, tukang bakso dan penjaja
rokok, bakul dan pengasong yang hidup di jalanan, gang-gang, dan
kawasan-kawasan kumuh di Jakarta dan daerah perkotaan lainnya. Buruh industri
urban, mereka yang bekerja di lingkungan kerja yang berbahaya, jorok dan sulit
tak hidup di dunia mimpi manis musik pop Indonesia. Bunyi kasar dangdut yang
ramai irama perkusi bargayung sambut dengan rusuhnya jagad bunyi urban di
sekeliling pendengarnya. Namun demikian, musik dangdut selalu memiliki kualitas
komersial: “lokasi itu juga merupakan lahan mencari peruntungan. Pedagang
makanan, rokok, pelacur, dan tukang copet masing-masing moncoba mengais rezeki
di tempat itu” (Agus 2000, 6).
Cerita-cerita mengenai asal mula nama
Dangdut berhubungan secara langsung dengan akar musik ini di kalangan
masyarakat bawah. Pada awal 1970-an, musisi rock, Benny Subardja, anggota grup
rock Giant Step, mencap dangdut sebagai “musik tai anjing” (Frederick 1982, 124
n60). Editor majalah musik aktuil, memunculkan istilah “dangdut” sebagai label
penghinaan untuk pola irama rancak gendang khas musik ini yang berbunyi
“dang-dut”. Istilah “dangdut” digunakan
untuk membedakan musik dangdut dari orkes melayu, khususnya musik Melayu dari
Sumatra Utara. Sampai sekarang, dangdut beredar luas melalui radio pada tahun
1973-1974 berkat jasa Bung Mangkudilaga, penyiar radio yang giat mempromosikan
dangdut di Radio Agustina di Tanjung Priok, Jakarta.
Bila dilihat perkembangan musik dangdut
di era sekarang ini, musik dangdut menyajikan gubahan musik yang sangat berbeda
dari musik dangdut dahulu. Awalnya musik dangdut beriringan musik Melayu yang
sangat lembut. Menggunakan irama kendang yang halus menyerupai musik India.
Namun, sekarang banyak bermunculan orkes melayu yang menyajikan musik dangdut
dengan ciri khasnya tersendiri. Seperti grup musik OM.SONATA, Jombang, yang
mencoba menyajikan musik dangdut dengan memadukan musik tradisional jaranan,
melayu, dan musik dangdut modern. Suara kendang kempul yang khas dan kenong
bambu sample menjadikan grup musik ini memiliki ciri khas tersendiri sebagai
orkes melayu di Jawa Timur. OM.SONATA berdiri sejak tanggal 10 November 1990.
Pada awalnya grup ini menampilkan lagu bermusik dangdut Melayu seprti
dangdutnya Rhoma Irama dan belum mampu menciptakan lagu dangdut sendiri.
Seiring dengan berkembangnya zaman, grup musik ini juga semakin berkembang.
Awalnya grup ini hanya dikenal di lingkup daerahnya saja yaitu daerah Jombang.
Nama SONATA sendiri memiliki arti suatu syair lirik yang indah. Perkembangan
SONATA diiringi dengan keluarnya lagu pertama yang diciptakannya yang berjudul
“ngamen 20” dan “masa lalu 1”. Dengan awal keluarnya lagu tersebut, membawa
SONATA melangkah ke blantika musik dangdut Indonesia. Kini, SONATA semakin
dikenal khalayak masyarakat. Dengan ciri khas musiknya yang semi jaranan
membuat grup musik ini semakin digemari oleh khalayak penonton dangdut
Indonesia.
Komposisi Syair Lagu Dalam
Musik Dangdut Kontemporer (Dangdut Koplo) Saat Ini
Di bagian pembahasan berikut ini, saya
membandingkan syair lagu dangdut ciptaan Rhoma Irama dan ciptaan dari
OM.SONATA. lagu ciptaan Rhoma Irama yang kesemuanya muncul dalam album musik
atau musik latar film. Meski mungkin tidak mewakili keseluruhan karya Rhoma
Irama yang sangat produktif menciptakan lagu, khazanah ini sudah menyediakan
bahan yang sangat banyak untuk analisis topik teks lagu Rhoma. Tiap lagu
memiliki topik yang didefinisikan dengan jelas, seringkali terlihat pada
judulnya. Misalnya “kegagalan cinta”. Namun demikian, kebanyakan lagu
mengungkapkan lebih jauh sikap tertentu mengenai topki yang diketengahkan, dan
maka dari itu analisis saya tidak hanya mempertimbangkan judul lagu, melainkan
teks lengkap lagu.
Dari 307 lagu Rhoma Irama, 150 lagu menyampaikan
wejangan mengenai apa artinya menjadi kategori-kategori barikut: akhlak, dengan
tekanan religius yang kuat; akhlak, tanpa menyebut agama secara eksplisit:
masyarakat dan politik; dan kehidupan sehari-hari. Di bagian berikut ini, saya
akan membahas masing-masing kategori di atas, dan menyediakan judul lagu untuk
mengilustrasikan jenis pesan dalam kategori-kategori tersebut.
Akhlak, dengan tekanan religius yang
kuat. Sepulang dari menunaikan ibadah haji pada November 1975, Rhoma Irama
mengubah pranata moral grupnya musiknya. Contohnya ia melarang keras anggota
musiknya minum alkohol dan berzinah. Anggota yang melanggar aturan ini dipecat.
Selain mengubah lirik lagu dan musiknya, Rhoma Irama melakukan perubahan gaya
rambut, kostum, dan pesan. Ikhtiar-ikhtiar ini mencapai puncaknya dalam film perjuangan dan do’a, yang disebut
Frederick sebagai film musikal rock islami pertama di dunia (Frederick 1982,
115). Sekembalinya dari naik haji, Rhoma Irama semakin bertekad menggunakan
musik sebagai sarana untuk memberikan pengetahuan, ajaran, dan tuntunan kepada
khalayak pendengar. Ia merasa bahwa musik harus dipakai untuk meraih tujuan
mulia, bukan sekedar untuk hiburan dan senang-senang. Baginya, dangdut
merupakan “perang suci yang kami terjuni dengan bermain musik”. Bagi Rhoma
Irama, dangdut bisa memainkan peran penting dalam membangun akhlak masyarakat,
dan dapat membantu memerangi berbagai penyakit sosial seperti korupsi
pemerintah, perjudian, penggunaan narkoba, dan juga perzinahan. Lagu-lagu dalam
kategori ini seringkali membawakan pesan eksplisit yang dirancang untuk
menasihati pendengarnya dengan bahasa yang sangat tegas dan terang-benderang.
Contohnya, kata “jangan” kerap muncul dalam teks lagu. Lagu-lagu mengandung
teks bahasa arab, termasuk ayat-ayat Al-Quran.
Akhlak, tanpa menyebut agama. Meski mungkin
tidak mengumandangkan istilah agama, sekelompok besar lagu berkenaan dengan
akhlak. Cinta dan hubungan antara lelaki dan perempuan. Lirik lagu dalam
repertoar orkes Melayu berfokus pada cinta dan hubungan antara laki-laki dan
perempuan. Rhoma Irama melanjutkan tradisi menulis lagu cinta ini, dan banyak
lagunya diwarnai canda dan kelakar. Namun, ia juga menyuntikkan komponen moral
dan religius yang kental ke dalam lagu cinta. Lagu-lagunya menasihati pendengar
tentang percintaan.
Masyarakat dan politik. Sejak tahun 1977
sampai 1982, Rhoma Irama menjadi juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), partai koalisi kelompok-kelompok keagamaan Islam. Ia melokalkan Islam
dengan mengangkat masalah sosial dan politik dalam lagu-lagu karangannya maupun
pentas pertunjukkan. Contohnya, pada sebuah konser dalam acara kampanye Partai
Ka’bah, Rhoma Irama dan grup musiknya membawakan lagu hit “begadang”, tapi
lirik yang berbunyi “begadang jangan begadang” digantinya dengan “menusuk boleh
menusuk (lambang partai Islam ini) bermain-main dengan makna ganda “menusuk”
bagi khalayak pendengarnya yang sebagian besar berjenis kelamin laki-laki. Di
bawah ini adalah syair lagu begadang yang asli dan diubah.
Begadang,
jangan begadang
Kalau
tiada artinya,
Begadang
boleh saja,
Kalau
ada perlunya
Menusuk
boleh menusuk,
Asal
yang ada artinya,
Menusuk
boleh menusuk,
Asal Ka’bah yang ditusuk.
Pada awal 1980-an, rezim Soeharto
memberlakukan pemisahan antara agama dan negara dalam kehidupan bermasyarakat.
Selama bergabung dengan PPP, Rhoma Irama dilarang tampil di jaringan televisi
dan radio milik negara. Sejumlah lagunya diharamkan oleh pemerintah, dan
kasetnya disingkirkan dari toko-toko. Pada November 1977, video lagu “Hak
Azasi”, “Rupiah” dilarang tayang di televisi karena membeberkan masalah sosial,
sehingga menurut Departemen Penerangan dapat menghasut khalayak dan menganggu
stabilitas negara. Akibatnya, dangdut menjadi simbol perlawanan menentang rezim
militer Orde Baru. Pada pertengahan 1980-an, ketika Islam mulai menjadi liberal
dan kekangan negara terhadap Islam mulai mengendur, politisi mulai menyokong
dangdut dan membangun aliansi-aliansi dengan pedangdut untuk menggalang
dukungan massa. Pada tahun 1988, Rhoma Irama tampil kembali di televisi setelah
11 tahun absen. Pada 1990-an, periode ketika Islam dirangkul secara terbuka
oleh Soeharto, Rhoma Irama bergeser mendekati Orde Baru. Setelah direkonstruksi
dan diapropriasi, dangdut kemudian dipinang oleh para pejabat pemerintah
sebagai musik Orde Baru, musik yang menurut Menteri Sekretaris Negara,
Moerdiono, “sangat Indonesia”.
Kehidupan sehari-hari. Dalam kategori
ini, amanat tidak disampaikan melalui ungkapan religius atau sosial-politik.
Contoh, dalam lagu “hidung Belang”, Rhoma Irama menghimbau kaum perempuan agar
menjauhi laki-laki “hidung Belang”, istilah untuk lelaki yang suka main
perempuan. Lagu “bujangan” mulanya terkesan mengelu-elukan enaknya hidup
membujang, tapi akhirnya menganjurkan lebih baik menikah.
Lagu-lagu di atas mengilustrasikan
topik-topik yang digunakan Rhoma Irama untuk mengajari atau menasihati khalayak
pendengarnya dalam perkara akhlak, cinta, dan hubungan lelaki-perempuan,
masyarakat dan politik, serta kehidupan sehari-hari. Rhoma Irama memandang
dangdut sebagai alat untuk merekayasa khalayak.
Namun, berkebalikan dengan syair-syair
lagu Rhoma Irama yang menyajikan perkara akhlak, cinta, dan hubungan
lelaki-perempuan, masyarakat dan politik, serta kehidupan sehari-hari.
Syair-syair lagu dangdut di masa sekarang ini justru mengalami pergeseran yang
sangat drastis yang hanya menyajikan lagu yang bertabur untuk hiburan saja.
Dalam syair tidak terdapat pesan yang dapat diambil. Berbeda dari syair lagu
Rhoma yang pada setiap lagunya selalu tersirat pesan yang dapat diambil. Syair
lagu-lagu masa sekarang cenderung hanya untuk menghibur khalayak pendengar
saja. Penciptaan lagu bertujuan untuk dunia hiburan belaka. Seperti contoh
syair lagu yang diciptakan oleh grup musik OM.SONATA di bawah ini yang berjudul
“Kebelet 2” dan “buka titik jos”.
Syair lagu “Buka titik jos”
Hai
kenapa kamu kalau nonton dangdut
Sukanya
bilang buka titik joas
Apa
karena pakai rok mini jadi alasan
Senengnya
abang ini ngintip-intipku pake rok mini
Syair
lagu “kebelet 2”
Ojok
disenggol dek awakku kemriyang
Ojok
dirangkul dek dredek nganti dengkul
Senajan
kowe rondo wingi sore
Setrummu
banter gede voltasene
Aku
wis suwe mas ora ngunu ngene
Sak
joke aku wis ditinggalake
Ketemu
sampean kudu tak pangan wae
Ibarat
nyidam rujak lombok selawe
Kowe
lan aku mas wis podo gedene
Ngenteni
op mas rasah piyapiye
Ndang
dijeguri mas banyu blumbang iki
Ben
kroso marem ilang roso sepi
Ojo
kesusu dek opo nanem nafsu
Aku
jek joko dek durung tau ngunu
Yen
pancen iku dek dadi pangarepmu
Ayo
bebarengan budal neng penghulu
Dari
kedua contoh lagu di atas menunjukkan bahwa lagu pada masa sekarang ini
hanyalah semata-mata untuk dunia hiburan saja. Banyak lagu yang diciptakan oleh
grup musik OM.SONATA yang sengaja diciptakan dengan menggunakan bahasa daerah
Jawa Timuran untuk menghibur khalayak pendengar. Dengan semakin berkembangnya
musik dangdut sekarang ini, OM.SONATA mencoba menciptakan segudang lagu yang
bertema mengambil dari kejadian sehari-hari khususnya yang dialami para pemuda
saat ini. penjualan lagu pun melejit naik. Terbukti dengan adanya VCD-VCD yang
menjual hasil lagu ciptaan OM.SONATA. meskipun lagu-lagu masa sekarang ini
hanya memenuhi kebutuhan hiburan semata, namun musik dangdut sekarang semakin
mengalami perkembangan yang pesat di dunia blantika musik Indonesia. Dengan
adanya lagu-lagu baru seperti tersebut, para khalayak pendengar justru sangat
menikmati dan menyukai musik dangdut Indonesia.
Penampilan Dari
Penyanyi Dangdut Pada Pertunjukan Dangdut Kontemporer (Dangdut Koplo) Saat Ini
Dangdut selalu sinonim dengan tarian.
Tidak seperti jenis-jenis musik populer lainnya, dangdut mengajak orang untuk
menari. “Goyang!” adalah anggapan umum tentang musik dangdut. Arti “Goyang”
tidak lebih dari bergerak, tapi dalam dangdut goyang mengacu pada gerak ayunan
pinggul, pinggang, dan pantat. Goyang bukan hanya gerak tubuh, melainkan reaksi
alami dan tidak disadari terhadap irama khas gendang dangdut. Tubuh penari
perempuan menjadi tema banyak lagu dangdut. Laki-laki umumnya mengubah lirik
dan musik, memainkan instrumen, dan memproduksi album. Dalam pertunjukan di
muka umum, penonton utamanya adalah kaum adam. Sekalipun demikian, penelitian
membuktikan bahwa perempuan adalah fokus penting lagu-lagu dangdut. Di rumah,
tempat dangdut disiarkan di radio dan di televisi, serta dimainkan di VCD yang
harganya tidak mahal, audiens dangdut terutama adalah kaum hawa.
Sejumlah citra berbeda tentang perempuan
terangkum dalam berbagai syair lagu, citra, dan wacana dangdut. Satu
representasi yang dominan adalah penyanyi/ penari penggoda yang bisa diajak
berkencan seksual. Dangdut adalah musik yang juga mengiringi penjualan seks di
kompleks-kompleks pelacuran di Indonesia. Di klub hiburan yang gelap dan penuh
asap rokok, atau bar karaoke, perempuan bekerja sebagai penyanyi, teman melantai
dan hostes. Pemandangan seperti itulah yang menjadi dominan dalam rekaman video
yang beredar dalam dalam VCD-VCD dan via internet, dimana penampil perempuan
diperlihatkan sedang berjoget dengan gaya yang merangsang nafsu syahwat. Tetapi
disamping itu, dangdut juga adalah sebuah forum untuk merayakan tarian erotis
dan kekuasaan kaum perempuan, yang sudah lama menjadi bagian penting dari
sejarah kultural Indonesia, setidaknya di pulau Jawa dan Sumatra. Perempuan
tidak meminta maaf atas tindakan mempertontonkan seksualitasnya sendiri dalam
tarian. Dangdut pada dekade 1990-an memperlihatkan citra istri/ ibu yang baik,
kepala rumah tangga yang rela menderita demi suami, meskipun suaminya
menghancurkan keluarga.
Perempuan menampilkan citra yang
berbeda-beda di media cetak populer dan wacana-wacana representasi-diri.
Cerita-cerita tabloid perihal seks dan skandal melilit para penyanyi dangdut.
Khususnya penyanyi perempuan, lebih dari genre musik apa pun di Indonesia.
Dimasukannya perempuan, dangdut, dan penyanyi ke dalam satu kelompok
membangitkan citra kenikmatan seksual dan godaan syahwat bagi sebagian pihak,
sementara bagi pihak lain, hal itu bisa bermakna kebebasa seksual, peluang
ekonomi, dan juga identifikasi muslim.
Seiring dengan berkembangnya musik
dangdut Indonesia, penampilan dari sang penyanyi dangdutpun juga mengalami
pergeseran. Pada awalnya penyanyi dangdut seperti contohnya Cici Paramida dan
Iis Dahlia serta Ine Sintya, bernyanyi dangdut dengan berpenampilan modern yang
glamor tetapi tetap menjaga kesopanan dalam berpakaian. Berbeda dengan
penampilan penyanyi dangdut masa sekarang ini. Sejak munculnya “goyang Ngebor”
yang dibawakan oleh penyanyi dangdut
Inul Daratista, penampilan penyanyi dangdut Indonesia semakin berubah total.
Nilai kesopanan terhadap berpakaian sangat kurang sekali. Pada Februari 2003,
tubuh seorang perempuan menjadi titik api perdebatan publik tentang otoritas
agama, kebebasan berekspresi, hak-hak perempuan, dan masa depan kepemimpinan
politik Indonesia. Fokus perdebatan-perdebatan ini adalah Inul Daratista,
penari/penyanyi musik aliran pop asal Jawa Timur, yang tariannya dituding
“porno”, dan oleh karenanya dianggap haram, dilarang agama Islam. Aksi panggung
dan wacana performatif Inul menekankan gaya menari yang ia sebut dengan “goyang
ngebor”. Semenjak itulah penyanyi dangdut Indonesia mulai terpengaruh oleh
goyangan Inul. Muncul pula “goyang gergaji” dari Dewi Persik, dan sekarang
telah terkenal dengan goyangan yang disebut “goyang Itik” yang dipopulerkan
oleh penyanyi pendatang baru yang bernama Zaskia.
Penyanyi dangdut dalam grup SONATA pun
juga menampilkan aksi yang berpenampilan sexi. Mereka berpendapat bahwa dangdut
identik dengan goyangan yang aduhai. Tanpa goyangan, dangdut bagaikan sayur
tanpa garam yang kurang enak dan kurang sedap. Sehingga kata “goyang” sudah
mendarah daging pada musik dangdut. Penampilan penyanyi dangdut sekarang ini
lebih menonjolkan kesexian tubuh mereka. Berpakaian minim dan memakai rok mini
yang serba pendek guna memperlihatkan kelekukan tubuh mereka. Hal ini sangat
bertolak belakang dengan penampilan penyanyi dangdut pada era Rhoma Irama yang
memperhatikan nilai kesopanan dalam berpakaian. Bahkan penyanyi dangdut sama
halnya dengan tayub. Kadang penyanyi juga mendapat sawer dari para penonton. Namun
dibalik itu, terkadang ada seorang penonton yang menanyakan pada pimpinan grup
musik apakah sang penyanyi dapat dibeli untuk menemani sang penonton. Namun hal
itu dilakukan dibelakang panggung. Penyanyi dangdut masa sekarang ini lebih
berfokus pada penampilan yang mengumbar kesexian tubuh mereka.
Kesimpulan
Dangdut membantu memproduksi posisi
hegemonik maupun hegemonik-tandingan di ranah kebudayaan. Dalam pembahasan di
atas telah ditunjukkan bagaimana bentuk dangdut glamor, lembut, dan
mengawang-awang, serta menarik perhatian, menjadi situs istimewa untuk
menarasikan bangsa di televisi nasional selama dekade 1990-an, ketika dangdut
diangkat dalam wacana resmi pemerintah tentang kebudayaan. Sebagai bentuk
nasional, dangdut dibayangkan sebagai musik semua orang Indonesia. Perempuan
sebagai representasi simbolis bangsa adalah krusial dalam proyek naratif ini.
pada saat yang bersamaan, lagu bisa bersifat kritis terhadap formasi nasional
ini melalui representasi perempuan yang menantang citra perempuan ideal versi
negara.
Daftar Rujukan
Agus. 2000. Planet Senen: Di Sini Dangdut Pertama Kali Bersemi. Arda, Agustus,
6.
Aesijah, Siti . Musik Dangdut: Suatu Kajian Bentuk Musik.
Dloyana Kesumah, I Made Purna, dan
Sukiyah. 1995. Pesan-pesan Budaya
Lagu-lagu Pop Dangdut dan Pengaruhnya terhadap Perilaku Sosial Remaja Kota.
Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Pusat Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Djuanda. 1998. The Dangdut Music
and Dance. Jakarta
September 6, http://www.geocities.com/vienna/choir/3811/dangdut.htm1
Emha, Ainun Nadjib. 1979. Jiwa Dangdut Kita pada Dasarnya Sangat Besar.
Aktuil, 7 Juni.
Frederick, william. 1982. Rhoma Irama and the Dangdut style: Aspects
of contemporary Indonesian Popular Culture. Indonesia 34: 102-130.
Harahab, Sulaiman. Dangdutnya Rhoma Irama: Kemempelaian Musik (Melayu-Rock) dan Dakwah. Jurnal
FIS Edisi Agustus 2011.
Lohanda, Mona. 1983. Dangdut
: Sebuah Pencarian Identitas (Tinjauan Kecil dari Segi Perkembangan
Historis), dalam Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono (Ed.) Seni dalam
Masyarakat Indonesia, Bunga Rampai. Jakarta: P.T.Gramedia.
Moh. Muttaqin . Persepsi Remaja Kota Semarang Terhadap Musik Dangdut.
Susan Paper dan Sawong Jabo. 1987. Musik Indonesia dari 1950-an hingga 1980-an.
Prisma no.5 Th.XVI Mei 1987.
Weintraub, Andrew N. 2012. Dangdut: Musik, Identitas, dan budaya
Indonesia. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Wawancara:
Edy Sugioto lisan pada Jumat, 24 agustus
2012, pukul 14. 08: 08 WIB